Mukardi berasal dan Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dia pindah ke Sumatra Selatan sejak 1988 saat menjadi guru honorer dan diangkat menjadi PNS pada 1991.
Saat itu, dia melihat belum meratanya pendidikan untuk masyarakat migran di Sumsel. Anak-anak cenderung ikut orang tuanya bekerja di sawah.
“Untuk bekerja itu kurang peduli orang tuanya, kedua kalinya sekolah negeri itu tidak bisa menampung siswa khususnya yang tingkat SMP,” ungkap Mukardi dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, Senin, 20 November 2023.
Keterbatasan lain yang membuat anak-anak enggan bersekolah adalah jarak tempuh yang jauh dengan medan jalan yang sulit sejauh 10 km. Peserta didik mesti menempuh dengan berjalan kaki. Dia menyebut pada medio '80 an, kendaraan sepeda angin masih menjadi barang mahal.
“Dengan demikian saya terinspirasi, bagaimana kalau kita mendirikan sekolah swasta untuk mereka yang tidak tertampung di sekolah negeri. Bisa mereka bersekolah di sekolah swasta,” kenang Mukardi.
Sekolah pertama yang dia dirikan adalah SMP Muhammadiyah 1 Muara Padang, Kabupaten Banyuasin. Sejak medio '80 an sampai 2023, dia sudah berhasil mendirikan 28 sekolah untuk anak-anak di Banyuasin.
Selain Sekolah Menengah Pertama (SMP), Mukardi juga mendirikan berbagai jenjang sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA), SD/MI Muhammadiyah, sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah.
Dia mengungkapkan cara menjaga dan mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah di Sumsel melalui penyelenggaraan event bersama. Kegiatan ini berhasil menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Selain itu, dia juga selalu memikirkan anak-anak dari keluarga kurang beruntung. Mukardi berazam jangan sampai karena masalah kurangnya ekonomi membuat anak dari keluarga kurang mampu tidak atau berhenti sekolah.
“Maka harus dengan berusaha, jika ada uang pribadi maka akan pakai uang pribadi. Kalau tidak punya, tetap kita cari jalan keluarga. Kita tetap cari jalan untuk membebaskan anak itu sekolah,” kata dia.
Dia berterima kasih kepada guru-guru yang dengan segala kekurangan tetap menjaga loyalitas untuk lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mukardi tidak memungkiri gaji guru masih ada yang di bawah standar.
Bahkan, di salah satu TK ABA, ada gurunya yang digaji hanya Rp80.000 dan dibayarkan ketika wali murid panen padi di sawah. Meski demikian, militansi dari guru-guru Muhammadiyah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Mukardi juga selalu belajar tentang keikhlasan dari guru-guru Muhammadiyah di sekolah yang didirikan. Dari mereka, semangat dan keikhlasan membimbingnya untuk terus bergerak menjaga dan mengembagkan jejak amal kebajikan Kiai Ahmad Dahlan.
Dia bercerita sebelum ada pemekaran, Mukardi biasa menempuh jarak puluhan bahkan ratusan kilo dan tidak jarang bermalam di jalan demi menghadiri rapat pimpinan Muhammadiyah.
“Saya naik perahu, harus cepat-cepat itu kalau tidak ketinggalan. Sebab dalam sehari hanya ada satu rute yang operasi, kalau ketinggalan kita terpaksa bermalam dan berangkat esok harinya,” kata dia.
Mukardi menyebut moda transportasi sungai dipiliha karena jalan darat masih sulit dilalui, lebih-lebih ketika musim hujan. Dengan segala tantangan yang dihadapi, Sukardi mengaku bersyukur diberi kesempatan untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Atas dedikasinya itu, Mukardi mendapat anugerah Muhammadiyah Awards. Penganugerahan diberikan dalam puncak Resepsi Milad ke-111 Muhammadiyah.
Baca juga: Muhammadiyah Bagikan Beasiswa untuk Pelajar Asal Palestina |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News