Dengan mental tersebut, diyakininya bangsa Indonesia tidak akan kesulitan menghadapi tantangan masa depan. Terlebih lagi saat ini, berkompetisi sudah bersifat lintas negara.
"Benar-benar 'merdeka' atau enggak? sekarang harus optimistis bisa 'merdeka'. Merdeka dalam tanda kutip begini artinya kita harus bersaing secara internasional, harus positif thinking, harus optimistis, percaya diri bisa bersaing," kata Ito kepada Medcom.id, di Jakarta, Sabtu, 17 Agustus 2019.
Ito mencontohkan, dirinya yang sekarang bekerja di Jerman sebagai Research Group Leader atau setara asisten profesor di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA) and Institute of Semiconductor Technology (IHT), Technische Universität Braunschweig, Jerman ini harus bersaing dengan ilmuwan Jerman asli.
Hal ini diakui Ito memang tidak mudah, sebab Jerman sudah sejak lama memiliki mental berani bersaing dengan siapapun, serta memiliki jiwa kompetitif.
"Contohnya seperti saya datang ke Jerman, saya kan terhitung orang asing bagi mereka. Orang Jerman harus siap menghadapi saya, nah begitu juga orang Indonesia jangan minder. Orang asing kalau mau datang (ke Indonesia) ya datang saja, tapi kami (masyarakat Indonesia) siap loh menghadapi elu. Seperti orang Jerman juga begitu," ucap pria kelahiran Yogyakarta ini.
Baca: Kualitas Ilmuwan Diaspora Tak Kalah dengan Rektor Asing
Selain itu, mengisi kemerdekaan versi Ito, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia optimistis Indonesia di masa depan dapat menjadi kiblat pendidikan dan teknologi dengan berbekal SDM yang berkualitas andal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
"Suatu saat impian saya, ibaratanya kalau Habibie ingin punya pesawat sendiri, saya ingin Indonesia bisa bikin nanochip sendiri, nanodevice sendiri, dan nanotransisto di bidang nano teknologi. Semuanya kita punya, fasilitas independen dan kita bisa menjadi mercusuar di dunia," kata pengidola Presiden RI ke-3, B.J Habibie ini.
Jebolan Teknik Elektro UGM ini juga menambahkan, teknologi dalam jangka panjang harus terus dikembangkan. Contohnya teknologi nano, bisa menjadi kunci kesejahteraan Indonesia.
Hal ini sekaligus menjawab kekesalannya terhadap segelintir orang yang masih menyangsikan bahwa teknologi bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ia pun menceritakan, banyak orang menganggap Indonesia tidak butuh pesawat, apalagi nanodevice.
Bahkan melakukan riset untuk mewujudkan hal itu pun kerap disebut menghabiskan uang. Tidak sedikit masyarakat yang berpikir, bahwa mengentaskan kemiskinan cukup dilakukan dengan cara memberi banatuan langsung kepada masyarakat miskin.
"Kalau kita terus berpikir seperti itu, nanti kita enggak akan maju-maju. Saya pikir anggaran itu bisa dibagi, ada yang dialokasikan untuk bantuan langsung atau short term, ada yang long term. Nah ini yang long term seperti SDM dan juga teknologi memang tidak bisa singkat hasilnya dirasakan, dan itu harus continue," tutup kelahiran 7 September 1987 ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News