Pemilihan ini melibatkan sekitar 4.000 anggota dari 65 negara. Dosen Geologi UGM (Universitas Gadjah Mada) ini menduduki posisi kedua dari organisasi internasional nonprofit yang menggalakkan pemanfaatan energi panas bumi.
Wanita kelahiran Surabaya ini mengatakan, ia tidak menyangka akan terpilih menjadi wakil presiden IGA yang dilantik pada awal Juni lalu secara daring. Menurutnya, ia dipilih sebagai kandidat dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia dalam pemilihan tersebut karena mendapat dukungan dari koleganya sesama peneliti di Inggris, Amerika, dan Selandia Baru.
Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi Fakultas Teknik UGM tersebut mengucapkan rasa syukur atas amanah yang diberikan untuk meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi secara global. “Setiap negara sebenarnya punya potensi dalam pengembangan energi panas bumi, hanya saja belum dimanfaatkan secara optimal,” kata wanita yang banyak meneliti potensi sumber panas bumi di Indonesia ini dalam keterangannya, Kamis, 9 Juli 2020.
Sebelum terpilih sebagai wakil presiden IGA, Pri Utami dikenal sebagai pakar energi panas bumi dari kampus UGM. Ia banyak melakukan riset bidang kepanasbumian di Indonesia.
Baca juga: Peneliti UGM Kembangkan Alat Pencegah Covid-19 pada Gagang Pintu
Di samping itu, ia juga rajin menjalin kerja sama dengan industri panas bumi, organisasi internasional, bahkan menjabat sebagai ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia. Menurutnya, kontribusi UGM dalam mendorong riset energi panas bumi menjadikan dirinya lebih banyak dikenal oleh universitas di luar negeri dan beberapa negara yang tertarik mengembangkan energi panas bumi.
“Saya sempat diundang PBB, Taiwan, dan Arab Saudi soal pengalaman Indonesia dalam pengembangan energi panas bumi,” katanya.
IGA, kata Pri Utami, merupakan organisasi internasional di bidang energi panas bumi yang selama ini selalu memberikan masukan kepada PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan kepala pemerintahan soal pemanfaatan energi panas bumi.
Oleh karena itu, ketika masuk di jajaran pimpinan tertinggi organisasi ini hingga tahun 2023 mendatang, ia ingin menjadikan IGA agar lebih dikenal dalam menginisiasi pemanfaatan energi panas bumi dan mengenalkan energi panas bumi di kalangan generasi muda. “Saya ingin agar energi panas bumi diketahui oleh banyak orang, kita ingin menjalin kerja sama internasional, pertukaran pengetahuan dan teknologi dalam mengelola sumber daya alam panas bumi,” ujarnya.
Menurutnya, yang menjadi kendala dalam pemanfaatan potensi energi panas bumi selama ini adalah kurangnya keberpihakan serta ketidaktahuan para pengambil kebijakan tentang energi panas bumi sebagai energi terbarukan. Oleh karena itu, ia akan mendorong lebih banyak kegiatan riset dan pendidikan soal energi panas bumi ini.
Baca juga: Pernah Ditarik Rambutnya Karena Enggak Bisa Bahasa Inggris
Utami mengakui, saat ini energi panas bumi baru dimanfaatkan untuk sumber pembangkit tenaga listrik. Bahkan, biaya untuk eksplorasi energi panas bumi memang butuh biaya yang cukup besar dan lama karena menyesuaikan tingkat kebutuhan daya listrik yang diinginkan.
“Dulu untuk satu lokasi eksplorasi butuh waktu hingga 10-15 tahun agar bisa produksi, tapi sekarang dengan teknologi dan pengetahuan yang ada, cukup 5-6 tahun sudah bisa produksi,” ujar Utami.
Meski biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, imbuhnya, namun daya listrik yang dihasilkan justru bisa bertahan lama hingga ratusan tahun apabila dikelola baik dengan memanfaatkan air hujan yang masuk ke perut bumi. “Selain bersih, bisa bertahan hingga ratusan sampai ribuan tahun,” ujarnya.
Belum optimalnya pemanfaatan potensi energi panas bumi ini menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh belahan dunia. Ia menyebutkan, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi hingga 20.000 Megawatt yang tersebar di beberapa titik.
Namun, hingga saat ini baru 2.113 Megawatt yang sudah dimanfaatkan. Menurutnya, kendala terbesar dalam pengelolaan energi panas bumi selain soal biaya, komitmen pengambil kebijakan, juga kesiapan sumber daya manusia.
Melalui IGA, kata Utami, ia ingin berkontribusi lebih banyak untuk menggalang kerja sama internasional. Baik dengan kepala pemerintahan, organisasi dunia, industri, dan lembaga pendidikan untuk mendorong pendidikan dan riset bidang panas bumi semakin maju dan berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
