Jakarta: Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, meminta
partai politik berbenah setelah
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi sistem pemilu legislatif proporsional terbuka. Menurutnya, partai harus menerapkan demokrasi internal yang baik dalam proses kaderisasi dan praktik politik antikorupsi.
Titi menjelaskan, hal itu dikarenakan sebenarnya sistem pemilu adalah hilir. Sementara hulunya terletak pada kualitas dan komitmen demokrasi partai politik.
"Selama parpol tidak berbenah, maka apapun pilihan sistem pemilunya tetap akan ada dampak buruk yang terjadi," kata Titi kepada
Media Indonesia, Kamis, 15 Juni 2023.
Di samping itu, ia juga menekankan penegakan hukum atas praktik politik uang atau korupsi politik harus menjadi komitmen serius oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu, aparat penegak hukum, dan elemen negara lainnya.
Titi sendiri menyebut bahwa putusan MK atas perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab, proses sidang, fakta, keterangan ahli yang terungkap selama persidangan tidak mengatur khusus soal sistem pemilu. Polemik yang membayangi MK dalam memutus perkara itu, lanjutnya, dinilai karena faktor politis.
"Riuh rendah perdebatan lebih karena spekulasi dan kontroversi politik yang menyertai akibat adanya kepentingan politik yang beragam di antara partai-partai juga dipicu oleh komentar Ketua KPU," ujar Titi.
Pemohon uji materi tersebut adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Majelis hakim konstitusi yang diketuai Ketua MK Anwar Usman menolak seluruh permohonan pemohon.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.idJangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((END))