Yogyakarta: Pakar Hukum Tata Negara
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menyayangkan keputusan telat yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) terkait pelanggaran etik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, keputusan yang keluar beberapa hari jelang pemilu tak berimplikasi pada pokok pelanggaran.
"Putusan DKPP terlambat. Terlambatnya cukup jauh," kata Zainal di Universitas Islam Indonesia (UII) Jalan Cik Ditiro Kota Yogyakarta pada Senin, 5 Februari 2024.
Ia mengatakan putusan DKPP tak bisa menganulir pasangan capres-cawapres yang terbukti melanggar etik tersebut, dalam hal ini
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Artinya, pasangan tersebut tak mungkin lagi didiskualifikasi.
Padahal, diskualifikasi menjadi aspek penting yang mestinya ada dalam demokrasi. Menurut dia, putusan itu akan bisa menimbulkan pengaruh apabila dikeluarkan 60 hari sebelum pemungutan suara.
"Efek diskualifikasi itu penting dalam menjaga demokrasi. Tapi sekarang sudah sulit. Pemilu tinggal 9 hari. Padahal untuk mengubah nggak mungkin. Sekurang-kurangnya 60 hari kalau pakai UU dan PKPU, bahkan kalau kandidat meninggal itu nggak bisa diganti," kata dia.
Ia tak tahu pasti persoalan DKPP telah dalam mengeluarkan putusan. Namun demikian, Zainal menganggap putusan etik itu semestinya ada implikasi yang konkret. Sayangkan aturan yang semestinya mengaturnya tidak mewadahi itu.
"Yang bikin ribet kita tidak punya konteks aturan implikasi yang jelas dari pelanggaran etik itu menjadi apa implikasi hukumnya. Lagi pula ini bukan pelanggaran etik pertama berkaitan dengan itu. Ada juga sebelum itu Mahkamah Konstitusi (MK)," ujarnya.
Ia turut menyayangkan MK yang terkesan menghindari dalam memutus masalah penting itu. Bahkan, kata dia, ada banyak putusan yang semestinya menjadi referensi sekaligus pertimbangan.
"Sayangnya sama MK juga terkesan menghindari, terkesan tak mau memutus. Bahkan tak mau mengorek-ngorek kembali putusan 90. Putusan MK setelahnya mau meninggalkan putusan 90 begitu saja," kata dia.
Ia menambahkan, yang paling penting dari putusan etik yakni menjadi pedoman publik. Ia menyebut masyarakat harus mempertimbangkan apabila memilih calon pemimpin yang cacat dalam prosesnya.
"Bagaimana mungkin kita memilih orang yang cacat secara etik, dan kedua, bagaimana mungkin kandidat pemimpin yang sengaja merekayasa kejahatan etik itu," jelasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((WHS))