Jakarta: Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Jeddah Yasmi Adriansyah menjelaskan perihal membeludaknya daftar pemilih khusus (DPK). Ia mengatakan jalur DPK banyak digunakan
Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal.
Ia mengatakan hal serupa pernah terjadi di Pemilu 2019. PPLN Jeddah diklaim telah berusaha untuk melakukan sosialisasi sejak awal agar warga negara Indonesia (WNI) di Jeddah tak masuk DPK.
"Ketika sosialisasi, coklit (pencocokan dan penelitian), sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan KPU agar mendaftarkan diri, tapi tidak mudah dalam prosesnya memang," kata Yasmi di Kantor KPU Jakarta, Jumat, 1 Maret 2024.
Anggota PPLN Jeddah Siti Rahmawati menyebut
PMI ilegal di sekitar wilayah Jeddah khawatir dideportasi jika mendaftarkan diri dalam DPT. Sebagai PMI ilegal, mereka tidak memiliki dokumen resmi untuk bekerja.
"Yang diawali mereka tidak berani mendaftar, yang khawatir nanti dilaporkan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), kemudian dideportasi," ungkap Siti.
Makanya, kata Siti, PMI ilegal di sana menggunakan hak pilih pada hari H pemungutan suara. Mereka bermodalkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) atau paspor.
Rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara
Pemilu 2024 tingkat nasional mengungkap jumlah pemilih pada kelompok DPK di PPLN Jeddah lebih banyak ketimbang pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang mencoblos.
Besarnya margin antara pemilih DPK dan pemilih DPT yang menggunakan hak pilihnya di PPLN Jeddah mulanya dipertanyakan saksi Partai Gerindra Mariyatno Jamim. Ia mempertanyakan jumlah pemilih DPK mencapai 9.576 orang.
Adapun DPT di Jeddah berjumlah 54.488. Tapi, hanya 1.916 yang menggunakan hak pilihnya. Pengguna hak pilih berstatus daftar pemilih tambahan (DPTb) ada 5.689 orang.
"Ini DPK-nya besar sekali, 9.576. Itu prosesnya bagaimana sehingga lebih banyak DPK daripada (DPT)? Bahkan (dibanding) DPT, DPTb, lebih banyak DPK nya," ujar Mariyatno.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AGA))