Jakarta: Calon presiden nomor urut 2,
Prabowo Subianto merespon momen debat ketiga
Pilpres 2024 tentang jumlah lahan miliknya yang dibahas oleh capres lain.
Di hadapan relawannya, Prabowo mempertanyakan kepintaran kandidat calon presiden tersebut dengan kata-kata bernada umpatan. Namun begitu, Prabowo tidak menyebut nama calon presiden yang ia maksud.
Namun banyak yang menilai umpatan atau kata-kata tidak etis tersebut ditujukan kepada Anies Baswedan. Pasalnya dalam debat ketiga Pilpres, Anies mempersoalkan tentang kondisi sebagian besar anggota TNI yang tidak memiliki rumah dinas, tetapi justru Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memiliki luas tanah sebanyak 340.000 hektar.
"Di saat tentara (TNI) lebih dari setengah tidak memiliki rumah dinas, sementara menterinya Pak Jokowi (Prabowo) punya lebih dari 340.000 hektare," kata Anies dalam debat capres di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 7 Januari 2024.
Respons Bawaslu
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menilai bahwa umpatan yang terlontar dari calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana pemilu.
Larangan peserta pemilu menghina orang lain/peserta pemilu lain diatur dalam Pasal 280 (ayat) 1 huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), dengan konsekuensi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda maksimum Rp 24 juta.
"Tentang menghina ya? Bisa dijerat (Pasal 280 UU Pemilu)," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, di Jakarta, Rabu, 10 Januari 2024.
Bagja mengaku belum menerima temuan dugaan pelanggaran dari hasil pengawasan panitia pengawas pemilu (panwaslu) di tempat Prabowo berpidato dan melontarkan hinaan itu. Bawaslu akan memeriksa kasus ini seandainya ada laporan masuk. Menurutnya, ahli bahasa akan dimintai pendapatnya untuk menilai hinaan Menteri Pertahanan itu.
"Ya, jika ada laporan, kan. Panwas lapangan belum ada laporan ke kami," ujar Bagja.
Namun, Rahmat Bagja tidak mau berspekulasi soal apakah Prabowo dapat dinyatakan bersalah dalam kejadian itu. Dia berkata masih harus diadakan pemeriksaan lebih lanjut sebelum mengambil kesimpulan.
"Nanti kita lihat dulu, konteksnya apa, dan menyasar siapa. Kalau sanksi itu harus tegas menyasar siapa. Pemeriksaan itu harus tegas menyasar siapa dan itu bagian yang tidak bisa lepas. Kita akan lihat prosesnya," pungkas Bagja.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((PRI))