Jakarta: Kecurangan Pemilihan Legislatif (
Pileg) 2024 dinilai berpeluang lebih besar ketimbang Pemilihan Presiden (
Pilpres) 2024. Hal ini melihat potensi lemahnya pengawasan saat proses tahapan pemungutan suara pileg karena faktor menguras waktu.
"Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara Pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan, dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan," kata pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, melalui keterangan tertulis, Selasa, 27 Februari 2024.
Urutan penghitungan sejatinya tertuang pada Pasal 52 Ayat 2 PKPU Nomor 25 Tahun 2023. Beleid itu mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Haidar menilai proses penghitungan pileg di tempat pemungutan suara (TPS) memakan waktu. Kondisi ini dikhawatirkan jadi celah untuk terjadinya kecurangan.
"Malam sampai dini hari, TPS makin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan. Akibatnya dapat membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu. Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi," jelas Haidar.
Salah satu bentuk kecurangan Pileg yang sering terjadi adalah pencurian atau jual beli suara. Haidar mengaku tidak mengherankan bila ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara. Sedangkan, ada caleg yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.
"Apalagi dengan
parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," ujar Haidar.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((LDS))