Jakarta: Pendapat berbeda (
dissenting opinion) dalam putusan sengketa hasil
Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bisa menjadi refleksi untuk penguatan lembaga penyelenggara pemilu. MK jangan jadi tumpuan menyelesaikan pelanggaran selama tahapan pemilu.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riewanto menjelaskan
dissenting opinion yang disampaikan tiga hakim konstitusi yakni Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, menggambarkan adanya persoalan dalam proses tahapan pemilu. Termasuk, soal penyalahgunaan wewenang.
Namun, dugaan pelanggaran itu tidak bisa diselesaikan dengan baik di lembaga yang berwenang. Padahal, lembaganya sudah disediakan, seperti
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta aparat penegak hukum.
"Semua aspek itu ada. Mungkin kalau ada pihak yang tidak puas dari peran lembaga itu harus diperkuat lembaganya," kata Agus saat dihubungi, Senin, 22 April 2024.
Dia mendorong agar putusan MK baik secara umum dan adanya perbedaan pandangan hakim itu harus direspons dengan memperbaiki Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pemerintah dan DPR harus menyusun kembali regulasi penyelenggara
pemilu, baik dari kelembagaannya, kewenangannya, hingga detail aksi kelembagaannya.
"Sehingga putusannya itu sejak awal memang mencerminkan prosedur dan tahapan yang adil. Jangan di ujung. MK ini kan diujung," ucap dia.
Agus mengapresiasi keberanian keberanian tiga hakim MK itu dalam menyampaikan perbedaan pendapat. Hal itu menunjukan MK dalam mengadili sengketa
pemilu lebih komperhensif. Terlebih, ini menjadi
dissenting opinion pertama dalam sejarah sidang sengketa hasil pemilu di Indonesia.
"Sebelumnya tidak ada dissenting opinion dalam sidang perselisihan hasil pemilu. Artinya hakim MK mencoba lebih objektif, terbuka dan transparan melihatnya, leboh komperhensif dan menyeluruh," ujarnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AGA))