Jakarta: Klaim terkait putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 90 dikritik. Banyak pihak mengeklaim putusan terkait syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di pemilihan umum (
pemilu) itu untuk mengakomodasi anak muda.
"Kalau memang keberpihakan terhadap anak muda kenapa tidak dirubah menjadi 17 tahun sekalian? Putusan MK tersebut bukan untuk anak muda," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang, dalam keterangan tertulis yang diterima
Medcom.id, Selasa, 12 Desember 2023.
Menurut dia, konstitusi telah diinjak-injak oleh kelompok dengan kekuatan yang mengatasnamakan anak muda. Melki menyebut hal itu sebagai klaim semata, dan keberpihakan terhadap anak muda ke depan patut diragukan.
Melki menilai hukum telah dimanipulasi sebagai alat untuk memberikan kepastian pada golongan. Kondisi itu, kata dia, mengubah Indonesia menjadi tak lagi sebagai negara hukum.
"Hari ini negara ini sudah berubah menjadi negara kekuasaaan atau machstaat. Ini tentu menjadi ancaman bagi generasi muda ke depan," kata dia.
Dampaknya, kata dia, imbas negatif terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurut Melki, tak ada lagi ruang untuk pemilu yang riang gembira.
"Bagaimana bisa kita berpolitik riang gembira kalau konstitusi diacak-acak? Bagaimana kita bisa berpolitik riang gembira kalau kita tahu setelah mereka terpilih akan merusak demokrasi?" kata Melki.
Menurut Melki, istilah politik santun, gembira, hanya propaganda. Tujuannya, agar masyarakat tak marah.
"Padahal seharusnya sejak putusan MK kemarin kita sudah marah. Ada proses yang tidak benar di MK, ada proses yang tidak demokratis dan ada proses yang haram di MK, MK diinjak-injak," kata Melki.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ADN))