Jakarta: Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyampaikan ada banyak persoalan yang terjadi pada penyelenggaraan
Pemilu 2024.
Dissenting opinion dari ketiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai perlu jadi pertimbangan bagi pelaksanaan pemilu ke depan.
Titi berpesan agar para pemangku kebijakan membenahi sistem yang ada. Ini penting untuk mencegah berulangnya masalah penyelenggaraan pemilu serentak di periode berikutnya.
"Harus dibuat peraturan dalam Peraturan KPU dan Permendagri bahwa distribusi bantuan sosial yang berhimpitan dengan tahapan pilkada tidak boleh dilakukan pejabat publik berlatarbelakang politik," ucap Titi kepada Media Indonesia, Sabtu, 27 April 2024.
Dia juga berpesan agar penyelenggaraan
pemilu atau pilkada besok tidak lagi melakukan simbolisasi penyerahan atau penggunaan simbol-simbol personal yang bisa memberi insentif elektoral.
"Harus diatur diatur dalam Peraturan KPU dan/atau Permendagri berupa pelarangan penggunaan penggunaan simbol-simbol petahana yang akan/maju di pilkada dalam program-program pemerintah dan iklan layanan masyarakat yang bisa memberi insentif elektoral," tegas Titi.
Selain itu, perlu diatur dalam peraturan Bawaslu terkait persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil. Sehingga, menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu dilakukan secara komprehensif.
Titi berpesan harus dilakukan penyempurnaan dan penyiapan serius penggunaan sirekap untuk Pilkada Serentak 2024. Jangka panjang, dalam rangka memperbaiki kualitas dan integritas pemilu, maka perlu dilakukan sejumlah hal.
Contohnya, mendesak pembentuk UU hasil
Pemilu 2024 untuk menyusun Kodifikasi Pengaturan Pemilu dan Pilkada dalam satu naskah undang-undang. Hal itu agar ada koherensi dan konsistensi pengaturan hukum pemilu di Indonesia.
"Jika Bawaslu masih ditempatkan sebagai satu-satunya pintu masuk penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa, maka persyaratan anggota Bawaslu harus diubah menjadi berlatar belakang sarjana hukum atau pernah menjadi anggota Bawaslu," pesan dia.
Pembentuk Undang-Undang juga harus mengakomodasi berbagai putusan MK yang mengubah sejumlah ketentuan UU terkait penataan dapil, ambang batas parlemen, persyaratan calon, PHPU Pilkada tetap ditangani oleh MK, dan lain-lain.
"Selain itu, durasi waktu penanganan PHPU Pilpres disamakan dengan PHPU Legislatif, yaitu selama 30 hari kerja," ungkapnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AGA))