Jakarta: Fitur Anti-lock Braking System (ABS) di sepeda motor dapat memainkan peran penting dalam mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh P2M Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (POLAR UI), penyematan ABS di sepeda motor berpotensi menurunkan angka kecelakaan hingga 24 persen, atau setara dengan mencegah satu dari empat kecelakaan yang terjadi.
Data kecelakaan dari Korlantas POLRI menunjukkan, pada tahun 2023 terdapat 115.518 kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor, hampir dua kali lipat dibandingkan 71.072 kasus pada tahun 2017. Berdasarkan proyeksi POLAR UI, penurunan jumlah kecelakaan dapat mencapai angka signifikan jika ABS diaplikasikan secara menyeluruh.
“Jika semua motor dilengkapi dengan ABS, sebanyak 8.000 orang per tahun bisa dihindarkan dari kecelakaan lalu lintas,” ujar Ketua Tim Kajian POLAR UI, Tri Tjahjono, melalui keterangan resminya.
Untuk memproyeksikan penurunan jumlah korban kecelakaan, POLAR UI menggunakan data kecelakaan dari Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Indonesia selama periode 2016-2022. Analisis ini dilakukan menggunakan metode proyeksi berbasis data Road Accident Sampling System India (RASSI) yang menunjukkan kesamaan karakteristik antara kedua negara, khususnya dalam hal kepadatan lalu lintas dan penggunaan kendaraan roda dua.
“Dengan pendekatan ini, diharapkan proyeksi dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai potensi pengurangan kecelakaan akibat penggunaan fitur ABS,” jelas Tri.
Simulasi dari POLAR UI juga menunjukkan penggunaan ABS secara signifikan dapat mengurangi potensi kecelakaan berbagai jenis. Misalnya, kecelakaan tabrak belakang diperkirakan dapat berkurang hingga 38 persen dengan ABS, karena sistem ini membuat kendaraan dapat melakukan pengereman lebih stabil. “Penyematan ABS akan membuat kendaraan mengalami pengereman dengan lebih stabil,” tambahnya.
Hasil kajian ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 atau menyusun ketentuan spesifik terkait ABS pada peraturan tingkat menteri sebagai langkah awal. Kepala Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, Jumardi, menekankan pentingnya pengaturan teknis pada level peraturan menteri.
“Agar aturan yang sifatnya mendesak (urgent) dapat diatur segera dalam peraturan menteri, tidak perlu menunggu revisi UU atau PP yang membutuhkan waktu lama,” ungkapnya.
Jumardi juga mengusulkan bahwa regulasi teknis sebaiknya mencakup aspek stabilitas pengereman, bukan hanya perlambatan kendaraan. Sementara itu, Tri menambahkan fitur ABS saat ini masih terbatas pada model motor premium dan mendorong agar fitur ini diterapkan pada berbagai tipe sepeda motor.
Meski terdapat kekhawatiran terhadap potensi kenaikan harga motor akibat pemasangan ABS, pengalaman di India menunjukkan kenaikan harga relatif kecil, sekitar 10 persen atau setara dengan inflasi. Tri optimis Indonesia dapat menyerap dampak biaya tambahan ini. “Kalau ada kendala pendanaan, negara semestinya mencari bantuan fiskalnya,” kata Tri.
Jakarta: Fitur Anti-lock Braking System (
ABS) di
sepeda motor dapat memainkan peran penting dalam mengurangi risiko
kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh P2M Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (POLAR UI), penyematan ABS di sepeda motor berpotensi menurunkan angka kecelakaan hingga 24 persen, atau setara dengan mencegah satu dari empat kecelakaan yang terjadi.
Data kecelakaan dari Korlantas POLRI menunjukkan, pada tahun 2023 terdapat 115.518 kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor, hampir dua kali lipat dibandingkan 71.072 kasus pada tahun 2017. Berdasarkan proyeksi POLAR UI, penurunan jumlah kecelakaan dapat mencapai angka signifikan jika ABS diaplikasikan secara menyeluruh.
“Jika semua motor dilengkapi dengan ABS, sebanyak 8.000 orang per tahun bisa dihindarkan dari kecelakaan lalu lintas,” ujar Ketua Tim Kajian POLAR UI, Tri Tjahjono, melalui keterangan resminya.
Untuk memproyeksikan penurunan jumlah korban kecelakaan, POLAR UI menggunakan data kecelakaan dari Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Indonesia selama periode 2016-2022. Analisis ini dilakukan menggunakan metode proyeksi berbasis data Road Accident Sampling System India (RASSI) yang menunjukkan kesamaan karakteristik antara kedua negara, khususnya dalam hal kepadatan lalu lintas dan penggunaan kendaraan roda dua.
“Dengan pendekatan ini, diharapkan proyeksi dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai potensi pengurangan kecelakaan akibat penggunaan fitur ABS,” jelas Tri.
Simulasi dari POLAR UI juga menunjukkan penggunaan ABS secara signifikan dapat mengurangi potensi kecelakaan berbagai jenis. Misalnya, kecelakaan tabrak belakang diperkirakan dapat berkurang hingga 38 persen dengan ABS, karena sistem ini membuat kendaraan dapat melakukan pengereman lebih stabil. “Penyematan ABS akan membuat kendaraan mengalami pengereman dengan lebih stabil,” tambahnya.
Hasil kajian ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 atau menyusun ketentuan spesifik terkait ABS pada peraturan tingkat menteri sebagai langkah awal. Kepala Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, Jumardi, menekankan pentingnya pengaturan teknis pada level peraturan menteri.
“Agar aturan yang sifatnya mendesak (urgent) dapat diatur segera dalam peraturan menteri, tidak perlu menunggu revisi UU atau PP yang membutuhkan waktu lama,” ungkapnya.
Jumardi juga mengusulkan bahwa regulasi teknis sebaiknya mencakup aspek stabilitas pengereman, bukan hanya perlambatan kendaraan. Sementara itu, Tri menambahkan fitur ABS saat ini masih terbatas pada model motor premium dan mendorong agar fitur ini diterapkan pada berbagai tipe sepeda motor.
Meski terdapat kekhawatiran terhadap potensi kenaikan harga motor akibat pemasangan ABS, pengalaman di India menunjukkan kenaikan harga relatif kecil, sekitar 10 persen atau setara dengan inflasi. Tri optimis Indonesia dapat menyerap dampak biaya tambahan ini. “Kalau ada kendala pendanaan, negara semestinya mencari bantuan fiskalnya,” kata Tri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)