Jakarta - Masuknya brand-brand mobil asal Cina yang dijual di Indonesia dan membuka pabrik sebagai langkah investasi besar mereka di pasar Asia Tenggara, membuat The International Institute of Management and Development (IMD), memprediksi bakal membuat brand ini kian masif. Direktur IMD Center for Future Readiness, Howard Yu menegaskan bahwa pabrikan otomotif Cina akan menguasai sepertiga pasar mobil EV global pada tahun 2030.
Ini jadi imbas dari harga bersaing dan inovasi yang cukup agresif. Apalagi produsen mobil Cina lainnya, seperti Geely (42,34), Nio (31,30), dan Li Auto (64,37), memang membanderol kendaraan listrik mereka dengan harga terjangkau. Langkah ini memberi produsen mobil listrik Cina keunggulan kompetitif dan menjadi ancaman serius bagi para manufaktur mobil asal Eropa, Jepang dan Korea.
Melihat dominasi Cina di sektor industri kendaraan listrik yang makin agresif dengan banderol harga murah, belakangan Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan tarif pajak 100%. Tarif ini diberlakukan untuk melindungi pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat dari serbuan kendaraan listrik impor asal Cina.
Menanggapi situasi ini, Yu menyebut ke depan pabrikan mobil listrik Cina bakal menerapkan sistem white-label untuk mengakali aturan tarif ini. Mirip dengan strategi “Intel Inside”. Di mana produsen laptop menggunakan prosesor Intel tanpa merakit CPU mereka sendiri.
Pabrikan Cina akan menjual komponen, baterai, teknologi, atau semikonduktor mereka. Saat ini BYD juga sudah memasok chipset dari pabrik semikonduktor mereka ke Fiat dan Toyota di Cina. Jadi, hal serupa besar kemungkinan akan diterapkan ke negara-negara lain termasuk AS
“Dengan cara ini, margin yang didapat bisa lebih besar. Sebagai contoh, tidak ada produsen yang mendapat uang dari AC rakitan. Pendapatan terbesar ada di produsen kompresor. Sama halnya dengan PC: merakit PC tidak menghasilkan uang lebih banyak dari mereka yang menjual chipset dan perangkat lunak. Jadi, saya kira industri mobil bergerak ke arah yang sama,” papar Howard Yu.
Potensi Besar di Pasar Otomotif Indonesia
BYD dan produsen kendaraan listrik Cina lainnya belakangan gencar melakukan ekspor ke sejumlah pasar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Langkah ini dilakukan produsen mobil listrik China untuk menyalurkan kelebihan kapasitas produksi di pasar domestik Cina. Untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat manufaktur EV Asia Tenggara, Yu menyarankan sejumlah langkah.
Mengembangkan kebijakan, aturan, dan insentif, untuk mendukung adopsi dan manufaktur kendaraan listrik, misal berupa pembebasan pajak, subsidi, infrastruktur pengisian daya, dan persyaratan kandungan lokal.
Fokus pada penyediaan listrik pada angkutan umum (bus, kendaraan roda 2, roda 3) dan armada komersial, sebab lebih hemat biaya tertinggi. Menarik investasi asing dan kolaborasi untuk manufaktur kendaraan listrik, produksi baterai, dan pengolahan mineral.
Memanfaatkan cadangan nikel Indonesia yang besar dengan menawarkan insentif. Dengan memberikan keringanan pajak dan subsidi kepada pembuat kendaraan listrik dan baterai, diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pemrosesan dan manufaktur hilir untuk baterai dan kendaraan listrik. Sehingga, bisa bersaing dengan Cina, Korea Selatan, dan Jepang, yang memiliki teknologi dan manufaktur baterai yang lebih unggul.
Bekerja sama dengan negara Asia Tenggara lain untuk menyelaraskan standar kendaraan listrik, insentif, dan infrastruktur untuk menciptakan pasar dan rantai pasokan regional.
Jakarta - Masuknya brand-brand
mobil asal Cina yang dijual di Indonesia dan membuka pabrik sebagai langkah investasi besar mereka di pasar Asia Tenggara, membuat The International Institute of Management and Development (IMD), memprediksi bakal membuat brand ini kian masif. Direktur IMD Center for Future Readiness, Howard Yu menegaskan bahwa pabrikan
otomotif Cina akan menguasai sepertiga pasar mobil EV global pada tahun 2030.
Ini jadi imbas dari harga bersaing dan inovasi yang cukup agresif. Apalagi produsen mobil Cina lainnya, seperti Geely (42,34), Nio (31,30), dan Li Auto (64,37), memang membanderol kendaraan listrik mereka dengan harga terjangkau. Langkah ini memberi produsen mobil listrik Cina keunggulan kompetitif dan menjadi ancaman serius bagi para manufaktur mobil asal Eropa, Jepang dan Korea.
Melihat dominasi Cina di sektor industri kendaraan listrik yang makin agresif dengan banderol harga murah, belakangan Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan tarif pajak 100%. Tarif ini diberlakukan untuk melindungi pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat dari serbuan kendaraan listrik impor asal Cina.
Menanggapi situasi ini, Yu menyebut ke depan pabrikan mobil listrik Cina bakal menerapkan sistem white-label untuk mengakali aturan tarif ini. Mirip dengan strategi “Intel Inside”. Di mana produsen laptop menggunakan prosesor Intel tanpa merakit CPU mereka sendiri.
Pabrikan Cina akan menjual komponen, baterai, teknologi, atau semikonduktor mereka. Saat ini BYD juga sudah memasok chipset dari pabrik semikonduktor mereka ke Fiat dan Toyota di Cina. Jadi, hal serupa besar kemungkinan akan diterapkan ke negara-negara lain termasuk AS
“Dengan cara ini, margin yang didapat bisa lebih besar. Sebagai contoh, tidak ada produsen yang mendapat uang dari AC rakitan. Pendapatan terbesar ada di produsen kompresor. Sama halnya dengan PC: merakit PC tidak menghasilkan uang lebih banyak dari mereka yang menjual chipset dan perangkat lunak. Jadi, saya kira industri mobil bergerak ke arah yang sama,” papar Howard Yu.
Potensi Besar di Pasar Otomotif Indonesia
BYD dan produsen kendaraan listrik Cina lainnya belakangan gencar melakukan ekspor ke sejumlah pasar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Langkah ini dilakukan produsen mobil listrik China untuk menyalurkan kelebihan kapasitas produksi di pasar domestik Cina. Untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat manufaktur EV Asia Tenggara, Yu menyarankan sejumlah langkah.
Mengembangkan kebijakan, aturan, dan insentif, untuk mendukung adopsi dan manufaktur kendaraan listrik, misal berupa pembebasan pajak, subsidi, infrastruktur pengisian daya, dan persyaratan kandungan lokal.
Fokus pada penyediaan listrik pada angkutan umum (bus, kendaraan roda 2, roda 3) dan armada komersial, sebab lebih hemat biaya tertinggi. Menarik investasi asing dan kolaborasi untuk manufaktur kendaraan listrik, produksi baterai, dan pengolahan mineral.
Memanfaatkan cadangan nikel Indonesia yang besar dengan menawarkan insentif. Dengan memberikan keringanan pajak dan subsidi kepada pembuat kendaraan listrik dan baterai, diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pemrosesan dan manufaktur hilir untuk baterai dan kendaraan listrik. Sehingga, bisa bersaing dengan Cina, Korea Selatan, dan Jepang, yang memiliki teknologi dan manufaktur baterai yang lebih unggul.
Bekerja sama dengan negara Asia Tenggara lain untuk menyelaraskan standar kendaraan listrik, insentif, dan infrastruktur untuk menciptakan pasar dan rantai pasokan regional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)