Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan tidak akan memperpanjang insentif impor utuh (Completely Built-Up/CBU) untuk mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) mulai 2026.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai langkah pemerintah sudah tepat demi menghindari ketergantungan pada barang impor.
“Mencabut insentif CBU adalah keputusan yang strategis untuk mendorong industrialisasi dan menghindari ketergantungan impor,” kata Yannes Martinus Pasaribu ANTARA.
Yannes mengingatkan agar pencabutan insentif dilakukan dengan persiapan matang sehingga tidak bertabrakan dengan target percepatan adopsi kendaraan listrik di Indonesia.
Menurutnya, tanpa transisi yang jelas, harga EV bisa melonjak 30–40 persen, berisiko membuat pasar stagnan dan melemahkan kepercayaan produsen global untuk berinvestasi di Tanah Air.
Ia menilai para pengusaha yang memanfaatkan insentif impor sebenarnya sudah menunjukkan komitmen awal berinvestasi dengan membangun pabrik lokal dan memenuhi syarat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.
“Jadi yang dibutuhkan bukan sekadar mencabut kebijakan semata, tapi harus membangun jalan pengganti solutif yang konkret. Jika ini dilakukan dengan kolaborasi erat antara pemerintah, produsen, dan memastikan pelaku industri lokal benar-benar terlibat, kebijakan ini bisa menjadi pemicu lompatan industri otomotif nasional,” ujar dia.
Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan tidak akan memperpanjang
insentif impor utuh (Completely Built-Up/CBU) untuk mobil listrik berbasis baterai (battery
electric vehicle/BEV) mulai 2026.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai langkah pemerintah sudah tepat demi menghindari ketergantungan pada barang impor.
“Mencabut insentif CBU adalah keputusan yang strategis untuk mendorong industrialisasi dan menghindari ketergantungan impor,” kata Yannes Martinus Pasaribu ANTARA.
Yannes mengingatkan agar pencabutan insentif dilakukan dengan persiapan matang sehingga tidak bertabrakan dengan target percepatan adopsi kendaraan listrik di Indonesia.
Baca Juga:
Apa Fungsi Sensor TPS dan Throttle Body di Motor Matic |
Menurutnya, tanpa transisi yang jelas, harga EV bisa melonjak 30–40 persen, berisiko membuat pasar stagnan dan melemahkan kepercayaan produsen global untuk berinvestasi di Tanah Air.
Ia menilai para pengusaha yang memanfaatkan insentif impor sebenarnya sudah menunjukkan komitmen awal berinvestasi dengan membangun pabrik lokal dan memenuhi syarat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.
“Jadi yang dibutuhkan bukan sekadar mencabut kebijakan semata, tapi harus membangun jalan pengganti solutif yang konkret. Jika ini dilakukan dengan kolaborasi erat antara pemerintah, produsen, dan memastikan pelaku industri lokal benar-benar terlibat, kebijakan ini bisa menjadi pemicu lompatan industri otomotif nasional,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)