Seperti diketahui, Jepang mengalahkan Indonesia dengan skor 6-0 pada laga pamungkas Grup C Putaran Tiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Panasonic Suita, Osaka, Selasa 10 Juni 2025. Hasil tersebut diperburuk karena timnas Indonesia gagal memberi perlawanan di sepanjang pertandingan.
Statistik livescore.in menunjukkan, Jepang tampil sangat dominan dengan mencatatkan 71 persen penguasaan bola dan memiliki 22 total tembakan yang 10 di antaranya mengarah gawang. Di sisi lain, Indonesia malah tidak bisa melancarkan satu pun tembakan, dan ini menjadi tren negatif lanjutan setelah dibantai Jepang 0-4 di Jakarta pada tahun lalu.
Baca juga: Yance Sayuri Petik Pelajaran Berharga Usai Kalah dari Jepang
Terkait itu, Ignatius menganggap wajar kekalahan Indonesia karena Jepang bukan sekadar tim terkuat Asia, melainkan juga negara yang punya pengalaman lolos ke Piala Dunia lima kali berturut-turut. Selain itu, Samurai Biru diperkuat kebanyakan pemain yang berkarier di kompetisi tertinggi negara-negara Eropa, dan memiliki pembinaan usai muda yang lebih baik.
"Bandingkan dengan Indonesia, yang baru mulai menata ekosistem sepak bolanya dalam satu dekade terakhir, dan masih sering terganggu oleh polemik internal maupun kurangnya kontinuitas program jangka panjang," ujar Ignatius dalam keterangan resminya yang diterima medcom.id, Kamis (12/6/2025).
Kekalahan besar dari Jepang diketahui juga sudah tidak berpengaruh terhadap progres timnas Indonesia yang menyegel tiket putaran empat Kualifikasi Piala Dunia 2026 seusai menaklukkan Tiongkok (1-0) di Jakarta pada pekan lalu. Jadi, skuad Garuda masih berpeluang ke putaran final Piala Dunia dan itu tetap harus diperjuangkan.
"Kekalahan ini (dari Jepang) tidak harus dibaca sebagai penghentian mimpi, melainkan sebagai panggilan untuk menata ulang harapan dengan lebih realistis dan terukur. Kita berhasil melangkah ke putaran empat kualifikasi, sesuatu yang bahkan negara-negara Asia Tenggara lain belum tentu capai. Itu pencapaian yang layak diapresiasi," ucap Ignatius.
"Perbedaan kelas (dengan Jepang) memang ada, tapi bukan untuk disesali—melainkan untuk dijadikan acuan. Jepang pun pernah berada di posisi kita, puluhan tahun lalu, ketika mereka kalah 0-8 dari Korea Selatan dan menjadi bulan-bulanan tim-tim Asia Bara," tambahnya..
Tamparan Keras Pelajaran Berharga
Ignatius mengibaratkan kekalahan timnas Indonesia dari Jepang sebagai tamparan keras untuk mendapat pelajaran berharga. Maksudnya, impian Indonesia ke putaran final Piala Dunia masih bisa terwujud apabila sepak bola Indonesia melakukan perbaikan secara menyeluruh dan tidak berorientasi terhadap hasil jangka pendek.
"Apalagi jika sepak bola hanya digunakan untuk kepentingan politik semata. Ini bahaya besar," sindir Ignatius.
Menurut Ignatius, kekalahan telak skuad Garuda merupakan cermin tajam perbedaan pendekatan sistemik Jepang dan Indonesia dalam membangun sepak bola. Jepang adalah contoh negara yang membangun sepak bola dengan visi jangka panjang, sedangkan Indonesia—lewat PSSI —masih lebih sering mengambil jalur cepat dan pragmatis seperti naturalisasi pemain, tanpa menyelesaikan akar permasalahan tata kelola liga, infrastruktur, dan pembinaan usia muda.
"Jepang memulai reformasi besar-besaran sejak 1993 dengan lahirnya J.League. Mereka investasi besar pada akademi usia dini yang terintegrasi dengan sekolah, pelatih lokal berkualitas tinggi dan berlisensi. pengiriman pemain muda ke Eropa sejak usia belia, hingga penyelenggaraan liga domestik yang stabil, profesional, dan kompetitif," jelas Ignatius.
"Hasilnya, baru terlihat setelah 10-15 tahun. Tapi hari ini, mereka panen pemain seperti Takefusa Kubo, Wataru Endo, Kaoru Mitoma, hingga Ritsu Doan. Mereka produk sistematis, bukan hasil dadakan," tambahnya.
"Sementara itu, Indonesia masih berkutat pada solusi instan yang meliputi naturalisasi pemain, pembentukan timnas dari talenta pemain atau bukan dari hasil sistem pembinaan, serta liga yang masih bermasalah dalam profesionalisme, wasit, manajemen klub, dan infrastruktur," lanjut Ignatius.
Ignatius sendiri bukannya tidak setuju dengan program naturalisasi yang diterapkan PSSI karena dirinya menyadari bahwa langkah itu salah satu kunci sukses timnas Indonesia ke putaran empat kualifikasi Piala Dunia 2026. Tapi, tren positif skuad Garuda dinilainya tidak akan bertahan lama jika tidak memiliki fondasi pembangunan sepak bola yang kuat.
"Jepang menunjukkan bahwa tidak ada jalan pintas menuju kejayaan. Naturalisasi bisa menjadi pelengkap, tapi tidak bisa jadi strategi utama. PSSI harus mulai berani berinvestasi pada pembinaan jangka panjang, membenahi liga secara menyeluruh, dan mempercayai pelatih-pelatih muda serta pemain lokal sejak usia dini," ujar Ignatius.
"Kalau tidak, kita akan terus mengulang pola: euforia sesaat, lalu realitas pahit datang mengetuk. Dan tim seperti Jepang akan selalu jadi cermin—bukan lawan sepadan. Bukan karena mereka lebih berbakat, tapi karena mereka lebih bersungguh-sungguh membangun," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News