KEYAKINAN bahwa cara-cara berpolitik yang dibangun atas dasar ancaman, kebencian, dan bahkan kebohongan bakal efektif menggaet pemilih saat ini tampaknya lebih menyerupai ilusi. Gaya berpolitik yang cenderung negatif terbukti tak lagi dilirik pemilih karena alih-alih menawarkan solusi, yang mampu dihasilkan dari gaya seperti itu hanyalah kegaduhan dan pertikaian.
Politik yang mengeksploitasi ketakutan dan kemarahan publik mungkin memang punya daya tarik hebat di masa kampanye karena disampaikan dengan bungkus retorika-retorika nan populis. Namun, itu tak bertahan lama sebab ketika retorika populis ekstrem itu dipraktikkan, auranya berubah menjadi memuakkan.
Itu sekali lagi membuktikan politik memang hendaknya menebar kegembiraan, bukan menghadirkan ketakutan atau kefrustrasian. Politik mestinya mengarusutamakan akal sehat, bukan mengagung-agungkan pikiran yang sesat.
Contoh termutakhir dari 'kemenangan' akal sehat itu bisa kita lihat pada hasil Pemilu Sela Amerika Serikat (AS) 2018 yang dilangsungkan 6 November 2018 lalu. Kekalahan Partai Republik menguasai Kongres AS dalam pemilu paruh waktu tersebut ialah buah dari politik kebencian dan intimidasi yang konsisten dibangun dan dilakukan Donald Trump, sejak ia menjadi kandidat hingga kini menjadi presiden.
Seperti banyak diperkirakan sejumlah analis dan pakar politik internasional, pemilu sela kali ini menjadi saluran gelombang ketidakpuasan--kalau tidak boleh disebut kemarahan--rakyat 'Negeri Paman Sam' terhadap kebijakan-kebijakan Trump yang, seperti kampanyenya dalam Pemilu 2016, penuh dengan politik kebencian, kebohongan, rasial, dan memecah belah.
Gerakan perlawanan terhadap agenda politik Trump atau anti-trumpisme betul-betul mendapat tempat dalam pemilu paruh waktu ini karena kemuakan rakyat AS sudah di titik puncak. Kemenangan Partai Demokrat yang menjadi lawan politik Trump dan Partai Republik dengan mampu menguasai kursi Majelis Rendah (Kongres) pun sejatinya hanyalah efek dari kemarahan publik yang dapat dikapitalisasikan kubu seberang Trump.
Mesti menjadi catatan kita bahwa apa yang terjadi di AS itu sesungguhnya merupakan cerminan perpolitikan secara global. Tentu saja tidak terkecuali bagi Indonesia yang baik secara usia maupun karakter demokrasinya bahkan belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan AS. Demokrasi kita yang masih tergolong 'anak-anak' selayaknya belajar dari mereka yang sudah punya kedewasaan demokrasi.
Pelajaran utamanya ialah bahwa politik dan demokrasi semestinya ada untuk menyatukan, politik bukan hadir untuk memecah belah atau merusak simpul-simpul yang sudah terjalin. Seni berpolitik dan berdemokrasi sejatinya merupakan ikhtiar untuk merajut setiap perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, demi memproduksi kekuatan besar yang berbasis persatuan.
Namun, bangunan demokrasi itu bisa hancur ketika pelaku-pelakunya justru berperilaku sebaliknya dengan terus-menerus menggaungkan narasi-narasi kebencian, kebohongan, dan intimidasi hanya demi mendapatkan suara pemilih. Seperti di AS, di tangan rakyatlah kehancuran itu bisa dihindarkan, dengan syarat mereka tidak terbuai dengan retorika-retorika ancaman, kebohongan, dan kebencian yang diciptakan politisi.
Di sisi lain, kepada para elite politik di negeri ini, berhentilah menebar kampanye-kampanye yang negatif, merusak, dan tidak produktif. Tak perlu menunggu publik merasa muak dan jijik dengan segala macam obralan kebencian dan kebohongan, mulai sekarang bangunlah narasi-narasi yang sejuk, positif, membangun, menyatukan, dan yang terpenting menggembirakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
