TIDAK salah jika banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri merasa menjadi anak terbuang. Berulang kali para pahlawan remitan itu harus terjebak dalam kondisi tidak manusiawi bahkan hingga meregang nyawa.
Cerita lama itu terulang di penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Presiden melakukan lawatan ke berbagai daerah, termasuk kesibukan berkampanye, buruh migran bernama Satinah terancam hukuman pancung.
Perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, itu akan dihukum mati pada 12 April mendatang setelah ditetapkan bersalah oleh pemerintah Arab Saudi, atas pembunuhan majikannya, Nura Al Gharib. Satinah juga dinyatakan mencuri uang sebesar SR37.970, atau Rp100 juta lebih, pada Juni 2007. Satinah bisa selamat jika membayar diat, atau ganti rugi, selambatnya 3 April 2014.
Namun, diat sebesar Rp21 miliar jelas hanya bisa dipenuhi dalam mimpi oleh keluarga Satinah. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri memang menyediakan dana sebesar SR4 juta, atau Rp12,4 miliar, untuk membayar diat tersebut. Melalui berbagai jalan, pemerintah juga tengah menegosiasikan penurunan uang diat tersebut. Namun, peran yang dijalankan pemerintah semestinya jauh lebih besar. Ibarat pemadam kebakaran, pemerintah baru bekerja setelah api muncul.
Tidak mengherankan, seperti yang terjadi pada Satinah, pembebasan tidak kunjung tercapai meski sudah bertahun-tahun. Jika pendekatan seperti itu yang terus dipilih pemerintah, bukan tidak mungkin kondisi sama juga dialami 48 buruh migran yang juga sudah divonis hukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi. Tingginya angka buruh migran yang terjerat hukuman berat juga gambaran lemahnya perjuangan hukum dan diplomasi yang dilakukan pemerintah.
Pada 2011, lemahnya diplomasi berbuah pelaksanaan hukuman pancung terhadap Ruyati yang diklaim pemerintah tanpa pemberitahuan dari pemerintah Arab Saudi. Kita iri dengan sikap pemerintah Filipina yang sigap membebaskan buruh migrannya yang terancam hukuman mati di Uni Emirat Arab, beberapa waktu silam. Pembebasan itu terjadi setelah Presiden Filipina saat itu Fidel Ramos menelepon Raja UEA. Diplomasi langsung macam itu juga sebenarnya bukan baru di Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, berhasil membebaskan Siti Zainab setelah berbicara dengan Raja Arab Saudi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut langsung memperjuangkan warga negaranya yang nyawanya terancam di negeri orang. Diplomasi Presiden juga bukan hanya menjadi bukti nyata dari janji kampanye, melainkan juga memang kewajiban yang semestinya tetap dipenuhi selama memerintah.
Tidak berhenti di situ, sudah selayaknya pula Presiden fokus menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di sisa masa jabatannya, termasuk melindungi buruh migran. Pasalnya, sudah jamak terjadi, lilitan hukum terhadap buruh migran juga buah dari kondisi kerja mereka yang tidak manusiawi. Itu disebabkan kita lebih banyak mengirim tenaga kasar, bukan tenaga kerja berketerampilan.
Pemerintah telah gagal menyediakan lapangan kerja di dalam negeri sehingga banyak tenaga kerja kita yang mengais rezeki di negeri seberang. Ketika pemenuhan lapangan kerja di dalam negeri tidak disediakan, perlindungan terhadap buruh migran semestinya menjadi hal minimal yang dipenuhi pemerintah.