Sudah teramat lama Papua eksis dalam ironi dan anomali. Bumi mereka kaya, tetapi rakyat yang tinggal di atasnya hidup dalam belitan nestapa. Pun, Papua sejatinya tanah yang damai, tetapi rakyatnya kerap dicekam ketakutan. Ketika memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui penentuan pendapat rakyat (pepera) pada 1969 silam, rakyat Papua jelas ingin hidup lebih baik. Namun, selama berpuluh-puluh tahun harapan tersebut meleset karena negara memperlakukan mereka tidak dengan semestinya.
Meski pemerintahan silih berganti, Papua tetap saja bak anak tiri yang amat minim merasakan sentuhan pembangunan. Tak mengherankan jika Papua terus saja melarat dan terbelakang. Lebih ironis lagi, Papua berkubang dalam kemiskinan, padahal mereka punya modal berlimpah untuk bergelimang kesejahteraan. Tiada yang meragukan betapa luar biasanya kekayaan alam yang terkandung di bumi Papua. Semua ada, mulai hasil hutan hingga beragam jenis tambang.
Namun, segala macam kekayaan alam itu lebih banyak dinikmati orang luar, bukan oleh orang Papua yang sebenarnya paling berhak sebagai penikmat. Itulah kesalahan negara yang puluhan tahun dipelihara. Harus kita katakan, selama ini negara terjebak dalam kekeliruan mengelola Papua. Mereka selalu menyuarakan bahwa Papua ialah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, wilayah yang harus dipertahankan mati-matian dari setiap rongrongan dari mana pun datangnya, tetapi itu semua sekadar retorika.
Faktanya Papua terus diperlakukan berbeda ketimbang provinsi-provinsi lain. Kini, cara pandang negara terhadap Papua mulai berubah. Di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, negara betul-betul menempatkan Papua sebagai anak kandung Republik, bukan anak tiri atau anak pungut. Sebagai anak kandung, ia harus menikmati kue pembangunan yang sama dengan wilayah-wilayah lain. Pendekatan negara terhadap Papua juga telah bergeser.
Kecenderungan dalam mengedepankan pendekatan keamanan berubah menjadi pendekatan kesejahteraan. Pemerintah sadar betul bahwa kesenjangan pembangunan selama ini telah memantik perlawanan dari sebagian rakyat Papua. Kita mengapresiasi dan mendukung penuh kebijakan baru pemerintah terhadap Papua. Terlebih lagi, political will itu tak cuma kata-kata, bukan sekadar janji-janji, melainkan langsung direalisasikan di lapangan. Keputusan pemerintah untuk menyamakan harga premium di Papua ialah salah satunya.
Sulit diterima akal waras bahwa selama ini sebagian warga Papua harus membayar harga BBM puluhan kali lipat ketimbang harga di daerah lain, padahal mereka sama-sama rakyat Indonesia yang tinggal di Indonesia. Kita juga menaruh hormat langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur jalan di Papua lewat proyek trans-Papua. Itulah solusi untuk menggerakkan perekonomian, membuka ketertutupan, dan pada ujungnya menciptakan kesejahteraan.
Pun dengan proyek elektrifikasi di Papua. Tak tanggung-tanggung, Jokowi ingin semua kecamatan di Papua dan Papua Barat terang benderang pada 2019. Memang, masih banyak yang harus dilakukan pusat agar Papua bangkit dari keterbelakangan. Pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya, juga amat mendesak untuk dioptimalkan. Namun, yang pasti, apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi ialah awal yang baik.
Untuk memaksimalkan pembangunan di Papua, negara tak cukup hanya menggelontorkan triliunan dana otonomi khusus. Pengawasan agar dana selangit itu tepat sasaran merupakan keniscayaan. Membangun Papua juga perlu keterlibatan langsung dari petinggi negara sehingga rakyat 'Bumi Cenderawasih' betul-betul merasa diperhatikan.vKita yakin, asalkan langkah itu dilakukan secara konsisten, ironi dan anomali di Papua akan menjadi cerita lama. Kepedulian maksimal pula yang dibutuhkan rakyat di kawasan terpencil lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
