REGULASI komprehensif menjadi syarat mutlak untuk mendukung keberhasilan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Tanpa perangkat undang-undang yang andal, mustahil terorisme dapat diatasi secara tuntas. Ironisnya, regulasi penanggulangan terorisme negeri ini belum sepenuhnya mampu mengantisipasi ancaman-ancaman baru terorisme yang muncul sejalan dengan perubahan zaman.
Insiden penembakan dan bom di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1), menegaskan kepada kita bahwa upaya mengantisipasi dan mendeteksi ancaman teror harus dilakukan jauh lebih dini lagi. Itu bertujuan agar ancaman sejenis dan ancaman yang lebih besar lagi tidak perlu terulang. Persoalannya, perangkat hukum antiterorisme kita belum sepenuhnya mendukung agenda pencegahan terorisme yang terus berubah dan berkembang.
Benar bahwa kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). Akan tetapi, seperti yang banyak diwacanakan belakangan ini, UU tersebut tidak cukup komprehensif untuk mengantisipasi kekuatan terorisme baru yang belakangan semakin nyata kehadirannya di Indonesia.
Karena itu, kita sepakat mendukung upaya untuk memperbarui regulasi di bidang antiterorisme ini. Kita tidak mempersoalkan bentuk dari pembaruan regulasi itu. Apa pun bentuknya, apakah revisi UU, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) antiterorisme, ataupun pembuatan UU baru, semuanya harus memperkuat Polri dalam mengambil tindakan pencegahan dini.
Untuk mendukung agenda itu, kita sepakat agar penegak hukum perlu dibekali kewenangan memidanakan perbuatan makar, aktivitas sosial-politik individu yang mengarah ke terorisme, serta organisasi masyarakat yang mendukung terorisme. Kewenangan ini mendesak karena ancaman baru dari Negara Islam (IS) sudah semakin nyata. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebutkan sepanjang 2014-2015, ada 149 WNI yang kembali dari markas besar IS di Suriah. PBNU bahkan menyebut 800 WNI telah bergabung dengan IS di negeri itu.
Celakanya, UU Antiterorisme kita tidak mampu menjerat mereka. Padahal, gamblang dan tegas, mereka telah menyatakan sebagai pendukung dan simpatisan IS. Agenda IS untuk menebar aksi terorisme ke seluruh dunia, termasuk Indonesia pun sudah sangat nyata dideklarasikan. Di sinilah terjadi kekosongan hukum yang membahayakan negara dan bangsa.
Karena itu, Polri juga perlu diberi kewenangan perpanjangan masa penahanan bagi terduga teroris. Dalam UU Antiterorisme yang masih berlaku, polisi hanya berhak menahan dan memeriksa terduga selama tujuh hari. Untuk mengumpulkan alat bukti permulaan, mengonfirmasi, dan mencocokkan data keterlibatan para terduga lintas negara, periode penahanan itu jelas terlalu singkat. Untuk itu, waktu penahanan dapat diperpanjang hingga 30 hari agar proses penyidikan dan pembuktian dapat dilakukan secara cermat.
Namun, kita juga mengingatkan agar upaya meng-update regulasi antiterorisme ini harus hati-hati dan cermat. Jangan sampai penguatan kewenangan penyidik mereduksi perlindungan HAM sedemikian rupa. Yang perlu juga kita tegaskan ialah revisi UU Antiterorisme bertujuan memperkuat kewenangan Polri demi mencegah aksi teror, bukan memperkuat kewenangan institusi lain seperti intelijen atau tentara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
