PEREKONOMIAN Indonesia lagi-lagi menghadapi ujian. Tekanan terhadap rupiah yang sudah berlangsung sejak tahun lalu perlahan menyeret nilai tukar rupiah hingga kini nyaris menyentuh 15.000 per dolar AS. Nominal selemah itu pernah dialami rupiah pada masa krisis finansial 1998.
Sebagian pihak kemudian menyetarakan kondisi saat ini dengan masa kelam tersebut. Mereka hanya melihat nilai akhir rupiah yang nyaris tembus 15.000 per dolar AS. Mereka lupa atau sengaja mengabaikan jauhnya perbedaan nilai awal rupiah dengan masa sekarang.
Pada 1997, masa jelang krisis moneter, dalam tempo kurang dari setahun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok dari sekitar 2.500 per dolar AS menjadi tembus 16.000 per dolar AS pada Juni 1998. Pelemahannya mencapai lebih dari 13.000. Saat ini, dalam tempo yang serupa, rupiah melemah kurang dari 2.000.
Hampir seluruh indikator perekonomian tergolong sehat. Inflasi terkendali, perekonomian mampu tumbuh melebihi 5%, bahkan lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings baru saja mempertahankan peringkat Indonesia pada level BBB positif, atau layak investasi. Itu artinya perekonomian Indonesia diyakini masih sehat untuk bisa mencicil dan membayar utang dalam jangka panjang.
Satu indikator yang diakui pemerintah mengganjal kesehatan perekonomian ialah neraca transaksi berjalan yang defisit. Neraca transaksi yang lebih banyak mengeluarkan mata uang asing, khususnya dolar, ketimbang menyerap devisa ke dalam negeri tersebut membuat posisi rupiah rentan mendapat tekanan oleh faktor eksternal. Penyakit itu sudah lama bersemayam di perekonomian Indonesia.
Pemerintah terlihat sudah bergerak sigap mengantisipasi kejatuhan rupiah lebih dalam. Defisit transaksi berjalan diupayakan mengecil dengan mengerem impor. Proyek-proyek infrastruktur yang banyak menggunakan barang modal yang diimpor dari negara lain ditinjau dan ditunda. Pajak penghasilan impor bakal dinaikkan. Keluar pula ancaman dari mulut Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan bakal menindak aksi-aksi spekulasi yang memperburuk nilai tukar rupiah.
Kita memang tidak bisa memastikan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah bakal efektif mengangkat kembali nilai tukar rupiah. Akan tetapi, kekhawatiran berlebihan, apalagi kepanikan, sudah pasti akan membuat kondisi makin buruk dengan menyeret rupiah terperosok lebih dalam.
Kondisi genting bukan hanya membutuhkan langkah-langkah cekatan, melainkan juga kepala dingin. Pemerintah perlu lebih mendekati pengusaha untuk meyakinkan bahwa gejolak nilai rupiah hanya sementara dan tidak sampai membahayakan perekonomian. Pengusaha pun diharapkan tidak mematok ekspektasi nilai tukar rupiah yang jauh lebih lemah daripada yang semestinya.
Alangkah heroiknya bila para eksportir dengan sukarela menukarkan pendapatan mereka ke rupiah. Apalagi bila ongkos produksi mereka seluruhnya atau sebagian besar dibiayai dengan rupiah. Pun, akan lebih berarti lagi bila gerakan menyelamatkan rupiah merasuk sampai ke masyarakat. Kurangi atau hindari sama sekali membeli produk impor dan perbanyak memakai produk lokal. Badai pasti berlalu.
Dalam jangka panjang, membalikkan defisit transaksi berjalan menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah melalui kebijakan yang tepat sebab sungguh bodoh bila negeri ini terus-menerus tersandung oleh batu yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
