Bangsa Indonesia harus berterima kasih kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. Presiden Gus Dur, lewat Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, mengakui Konghucu sebagai agama. Sejak saat itu, Konghucu menjadi agama resmi keenam setelah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Kebijakan itu makin mengukuhkan Gus Dur sebagai bapak pluralisme Indonesia.
Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri meneguhkan kebijakan pendahulunya dengan menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Berkat kedua tokoh bangsa itu,kaum Tionghoa di Indonesia kini bebas mengekspresikan keyakinan, agama, budaya, dan bahasa mereka. Keberagaman di negara yang punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini kian semarak.
Bukan cuma kalangan Tionghoa, kita yang bukan beretnis Tionghoa atau beragama Konghucu ternyata juga ikut merayakan keberagaman itu. Tengoklah, seperti dilaporkan Media Indonesia edisi 7 Februari 2016, warga dari berbagai etnis dan agama terlibat dalam penyelenggaraan perayaan Imlek. Di Singkawang, Kalimantan Barat, warga muslim bergabung dalam kepanitiaan Imlek dan Festival Cap Go Meh. Kepala sekretariat panitia ialah warga muslim beretnis Bugis, sementara bendaharanya warga muslim beretnik Melayu.
Di Surabaya, Jawa Timur, perayaan Imlek digelar di tempat ibadah kaum muslim, yakni Masjid Cheng Ho. Perayaan Imlek di Masjid Cheng Ho bahkan berlangsung setiap tahun. Di Bali, perayaan Inlek melebur dalam simbol budaya Bali. Warga Tionghoa di Pulau Dewata itu sejak dua hari lalu sibuk memasang penjor atau bambu hiasan dengan janur di sejumlah vihara di Kuta, Bali.
Itu semua terang benderang menggambarkan betapa perayaan Imlek membuat kita semua melek, tidak buta, akan keberagaman bangsa ini. Kita mesti pandai mengelola dan merawatnya. Keberhasilan mengelola dan merawat keberagaman menjadikan kita bangsa yang sanggup melembagakan kemajemukan sebagai sumber untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain, bukan sebagai sumber pertikaian.
Bukan cuma merawat dan mengelola, kita bahkan semestinya terus meningkatkan keberagaman kita. Salah satunya dengan menghapus istilah "agama resmi." Kita mengapresiasi pengakuan negara terhadap Konghucu sebagai agama resmi. Akan tetapi, terminologi "agama resmi" menunjukkan ada "agama tidak resmi." Agama tidak resmi biasanya mengacu pada agama-agama lokal, seperti Kaharingan di masyarakat Dayak, Sunda Wiwitan di masyarajat Sunda atau Parmalim di masyarakat Batak.
Para penganut agama lokal ini "dipaksa" mencantumkan satu dari enam agama resmi di kolom agama pada KTP mereka. Sebagai contoh, penganut Kaharingan mencantumkan Hindu" di kolom agama pada KTP mereka. Padahal, Kaharingan berbeda dengan Hindu. Jelas kebijakan itu tidak sejalan dengan konstitusi. Bukankah konstitusi menjamin kebebasan warga negara memeluk agama dan keyakinan serta mengekspresikan agama dan keyakinan mereka itu? Bukankah mengisi kolom agama di KTP sesuai agama yang dianut merupakan ekspesi keagamaan dan keyakinan?
Dengan tidak diakuinya agama-agama lain selain keenam agama resmi, Indonesia disebut negara dengan kebebasan beragama yang terbatas atau limited freedom of religion. Ungkapan kebebasan beragama yang terbatas itu sendiri merupakan istilah yang kontradiktif, contradictio in terminus. Menjadi tugas Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk semakin menyempurnakan kebebasan beragama di negara ini. Perayaan Imlek yang telah membuat kita melek keberagaman ini menjadi momentum untuk mewujudkan hal itu. Selamat merayakan Imlek! Selamat merayakan keberagaman!
