REFORMASI hadir di negeri ini dengan salah satu tujuannya ialah menekan nepotisme ke titik paling minimal. Kenyataannya, nepotisme masih enggan beranjak pergi, tetap saja hadir dalam praktik pejabat publik di negeri ini meski reformasi telah berusia 18 tahun. Yang paling mutakhir ialah nepotisme masih dipertontonkan tanpa rasa malu, tecermin dari beredarnya surat berkop Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang meminta Kementerian Luar Negeri memfasilitasi perjalanan liburan kolega menteri di kementerian tersebut dan keluarganya ke Sydney, Australia.
Tidak terlalu menjadi persoalan bila permintaan fasilitas itu untuk keperluan dinas kolega Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, yakni Wahyu Dewanto Suripman sebagai anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Hanura. Persoalannya ialah permintaan fasilitas itu untuk keperluan pribadi Wahyu. Katebelece itu juga menunjukkan betapa mental ingin dilayani masih menggelayuti pejabat publik kita. Pejabat publik, apalagi yang dipilih rakyat, seharusnya melayani rakyat, mengabdi kepada publik. Pendulum sejarah seperti sedang dipukul balik ke masa Orde Baru ketika tradisi katebelece seperti itu lazim berlaku. Apalagi, penerbit katebelece ialah institusi yang semestinya membenahi kultur birokrasi kita. Sungguh satu praktik tidak reformis dari lembaga yang menyandang kata 'reformasi' pada namanya.
Kita pun khawatir bila institusi yang semestinya memelopori reformasi saja justru mengangkangi reformasi itu, bagaimana pula dengan institusi lain? Kekhawatiran kita terbukti ketika beredar pula katebelece dari Rachel Maryam Sayidina yang meminta Kedubes RI di Prancis menyediakan fasilitas tranportasi selama anggota DPR asal Partai Gerindra itu dan keluarganya berlibur di Paris. Kita sering mendengar selentingan kabar bahwa permintaan fasilitas oleh pejabat publik sesungguhnya jamak belaka. Bahkan kabar yang berseliweran menyebutkan permintaan fasilitas seperti itu juga ditujukan kepada BUMN dan swasta.
Ini jelas bisa menyuburkan kolusi dan korupsi. Bahkan ia bisa disebut kolusi dan korupsi. Kita bisa mengatakan sejarah boleh bergerak ke arah reformasi, tetapi mental pejabat publik dan birokrat kita justru mundur dan mereka sendiri yang telah memutar mundur jarum sejarah itu. Era reformasi sesungguhnya merupakan masa transisi, masa paling menentukan perjalanan bangsa. Negara ini bisa bergerak menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu mapan atau mundur kembali ke zaman 'jahiliah'. Katebelece jelas menunjukkan kultur terbelakang, mental jahiliah. Jangan harap kita menjadi bangsa maju dan modern bila pejabat publik gemar menggunakan katebelece.
Hukuman formal, baik administratif, etik, maupun yuridis, dari negara mesti dijatuhkan kepada mereka yang masih mempraktikkan kolusi dan nepotisme, juga korupsi. Hukuman sosial dari publik pasti akan mereka terima dan hukuman sosial itu pasti lebih keras dari hukuman formal. Ini pelajaran buat pejabat publik lain. Perkara katebelece ini mengingatkan kita kembali akan pentingnya revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi supaya tak ada lagi katebelece di antara kita. Revolusi mental harus dimulai dari pejabat publik. Namun, masih maraknya penggunaan katebelece di negeri ini membuat kita bertanya, apa kabar program revolusi mental?
Cek Berita dan Artikel yang lain di