()

Bukan Kepala Daerah Pembangkang

17 Februari 2016 00:00
DALAM bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, bupati dan wali kota ialah bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan NKRI. Sebagai kepala daerah, mereka juga kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, mereka harus taat dan mengikuti aturan yang dibuat pemerintah pusat.
 
Akan tetapi, tidak sedikit bupati ataupun wali kota yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bertindak semaunya sendiri. Tidak jarang, mereka membuat kebijakan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.Bahkan, dalam kasus tertentu, kebijakan mereka justru bertentangan dengan aturan yang berlaku secara nasional.
 
Akibatnya, sinergi kebijakan pusat dan daerah pun tidak terjadi. Rakyatlah yang menjadi korban atas kebijakan itu.Kita tidak ingin implementasi kebijakan semacam itu dilakukan para bupati dan wali kota yang hari ini dilantik.
 
Pesan ini kita tekankan benar kepada 101 bupati dan wali kota hasil pilkada langsung 9 Desember 2015 yang hari ini dilantik secara serentak oleh gubernur di provinsi masingmasing. Kita menyaksikan banyak kepala daerah tidak mau mengikuti perintah pemerintah pusat. Mereka lebih patuh dan loyal kepada partai pendukung.
 
Dalam kasus tertentu, para kepala daerah bahkan bertindak seperti raja-raja kecil seolah menciptakan negara dalam negara. Melalui peraturan daerah, mereka tidak jarang memberlakukan kebijakan yang tumpang-tindih de ngan kebijakan pemerintah pusat.
 
Contoh kasatmata dari pembangkangan semacam itu dilakukan Bupati Bangka Tarmizi yang membuat surat keputusan pengusiran jemaat Ahmadiyah di wilayahnya.
 
Pembangkangan semacam itu jelas dan nyata telah meni hilkan kebijakan pusat.
 
Bukan hanya hasil pemba ngunan menjadi tidak opti mal, rakyat pun menjadi duktif. Negara dan rakyat tidak korban kebijakan kontraproduktif. Negara dan rakyat tidak butuh kepala daerah pembangkang yang semaunya sendiri membikin kebijakan.
 
Karena itu, kita mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang memulai tradisi baru untuk melantik kepala daerah di Istana Negara, seperti pelantikan tujuh gubernur terpilih pada Jumat (12/2).
 
Pesan kuat dalam pelantikan itu ialah Presiden Jokowi menghendaki sinergi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah harus dicamkan benar oleh bupati dan wali kota yang hari ini dilantik.
 
Kita mengapresiasi rencana Presiden Jokowi mengumpul kan mereka di Jakarta kelak untuk mendapatkan pencerahan dan pengarahan soal pentingnya sinergi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.
 
Tradisi pendidikan dan latihan di Lemhannas sebelum kepala daerah bekerja, jika perlu, dapat dihidupkan kembali. Itu penting agar pejabat daerah memperoleh wawasan keindonesiaan secara integral dan komprehensif, seperti pernah dilakukan di masa lalu.
 
Melalui pencerahan dan pembentukan wawasan seperti itu, kita berharap seleksi awal para pemimpin dan calon pemimpin di daerah pun dapat berlangsung lebih awal, sebelum mereka dipilih langsung oleh rakyat. Dengan jalan itu, kita berharap pemimpin yang terpilih pun bukan hanya paham mempraktikkan sinergi kebijakan pusat-daerah, melainkan juga teruji secara etika dan moral.
 
Dengan semangat yang sama, kita dapat lebih berharap agar pelantikan kepala daerah berstatus tersangka seperti yang masih berlangsung hari ini tidak akan terjadi lagi di masa depan. Revisi Undang-Undang Pilkada menjadi penting untuk mencegah tersangka mencalonkan diri pada pilkada serentak 2017. Contoh kasatmata dari pembangkangan semacam itu dilakukan Bupati Bangka Tarmizi yang membuat surat keputusan pengusiran jemaat Ahmadiyah di wilayahnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif