Karakter seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang santun mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang menghujat dan fitnah mencitrakan pribadi yang tak berbudi.
Bahasa menunjukkan cerminan kepribadian seseorang tampaknya dikecualikan untuk Ketua Dewan Pertimbangan PAN Amien Rais. Ia seorang mahaguru dan pernah calon presiden pula, tapi bahasa yang digunakannya sering tak sedap didengar.
Amien Rais dikecualikan karena mestinya ia pribadi berbudi, tapi bahasa yang digunakannya sering membuat kawan dan lawan terkaget-kaget sambil mengelus dada. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya, terutama yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa data pula.
Kita percaya, sangat percaya, Amien Rais tidak sedang merusak reputasinya sebagai mahaguru hanya karena melancarkan kritik tidak berbasiskan fakta. Apalagi kalau kritik itu melawan akal sehat dan menjungkirbalikkan logika. Mestinya, bahasa seorang Amien Rais mencerminkan pribadi yang bijak bestari.
Kiranya publik juga melihat sisi lain Amien Rais, yaitu sebagai seorang politikus. Kritik yang ia lontarkan sarat muatan politik untuk menjegal Jokowi yang sudah digadang-gadang menjadi calon presiden lagi.
Jika benar kritik Amien Rais bernuansa politik, harus tegas dikatakan bahwa hanya politikus yang berkualitas biasa-biasa saja yang berpikir untuk kepentingan pemenangan pemilu. Ekspektasi publik terhadap Amien Rais jauh dari itu. Dia diharapkan menjadi negarawan yang kata dan lakunya membawa nuansa sejuk dan untuk kepentingan generasi mendatang.
Terlepas dari apa pun motivasinya, kritik hakikatnya ialah oksigen bagi paru-paru demokrasi. Negara modern yang beradab justru menjadikan kritik sebagai vitamin yang menyuburkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya negara yang pejabatnya otoriter yang mati-matian mematikan kritik. Itulah praktik pemerintahan Orde Baru yang represif, yang membunuh kritik dan daya kritis.
Presiden Joko Widodo tidak mau membunuh kritik dan daya kritis. Kritik berbasis data justru diperlukannya untuk mengontrol kebijakan pemerintah agar selalu berjalan di jalur yang benar. Kritik yang didasari dengan niat untuk perbaikan tentu akan meningkatkan kualitas demokrasi.
Bangsa ini masih membutuhkan kritik Amien Rais. Agar Amien Rais tidak terkesan asbun, jauh lebih elok bila sekali-kali Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil mengajaknya terjun ke lapangan untuk melihat respons masyarakat menerima sertifikat hak atas tanah mereka. Terjun ke lapangan sekaligus piknik biar pikiran jernih.
Sertifikasi tanah ialah cara menghadirkan keadilan bagi masyarakat dalam penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Sertifikasi itu bagian dari reforma agraria.
Reforma agraria sesungguhnya menjadi bagian dari janji kampanye Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang tertera dalam Nawa Cita. Pembagian sertifikat tanah yang dilakukan Jokowi bukan semata-mata menghadirkan kegembiraan bagi rakyat, melainkan terutama memperlihatkan konsistensinya memenuhi janji.
Konsistensi memenuhi janji itulah yang sering diingkari para elite yang bisa melihat semut di seberang lautan, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Sudahkah Amien Rais memenuhi janji berjalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta?