PEMBUNGKAMANtidak pernah melahirkan kemajuan. Pembungkaman, juga pemberangusan, hanya akan menciptakan kebencian, ketakutan, dan kesalahpahaman.
Dunia telah berulang kali menunjukkan itu, tetapi jelas sejumlah kelompok intoleran di Indonesia tidak pernah belajar, atau mungkin juga tidak mau belajar. Berulang kali beberapa kelompok intoleran menyebarkan virus ketakutan, di antaranya dengan membubarkan secara semena-mena berbagai diskusi publik.
Selama Maret sampai awal April ini saja setidaknya sudah empat acara diskusi mereka gagalkan. Penggagalan terbaru terjadi pada Sabtu (2/4) saat kelompok yang menyebut diri Forum Umat Islam dan Front Jihad Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 di Yogyakarta. Sehari sebelumnya, di Pekanbaru, Riau, acara diskusi dengan tema perempuan yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga dibubarkan mereka yang mengaku Front Pembela Islam Riau.
Selain itu, masih ada lagi upaya pembatalan acara pertunjukan teater tentang Tan Malaka dan acara diskusi keberagaman gender di Jakarta pada Maret. Pada acara-acara itu kelompok intoleran memberi cap sebagai legitimasi pembubaran. Stigma komunis dan cap Syiah kerap menjadi alasan mereka membubarkan diskusi atau pertunjukan.
Bahkan, sebagian di antara mereka menjadikan `gang guan atas ketenteraman masyarakat' sebagai dalih pembubaran meski sesung guhnya acara-acara tersebut telah mengantongi izin.
Aksi barbar yang dilaku kan berbagai kelompok in toleran itu merupakan ben tuk penghinaan terhadap negara. Mereka mengang kangi konstitusi, sebagaima na termaktub dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin kebe basan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Sebab itu, sungguh mema lukan dan di luar nalar ketii dasar negara justru dibiarkan ka aksi yang tidak menghargai dasar negara justru dibiarkan aparat negara. Pembubaran Lady Fast 2016 yang seolah mendapat `restu' dari Polsek Kasihan, Yogyakarta, misalnya, hanyalah satu dari sekian banyak kejadian saat aparat kepolisian justru memberi `angin' kepada pelaku pembubaran serta meminta korban untuk `mengalah' atas nama ketenteraman.
Sikap seperti itu telah memosisikan organ negara sebagai pihak yang tidak netral. Sebagai alat negara yang dibekali kewenangan penuh untuk menjamin terlaksananya hak-hak warga, sudah semestinya pihak kepolisian bertindak aktif.
Aparat mestinya menjamin bahwa merekalah penjaga ketertiban sesungguhnya, bukan justru memberi celah kepada kelompok intoleran untuk `merebut' peran penjaga ketertiban itu. Justru tindakan tegas harus dialamatkan kepada pemberangus kemerdekaan berpikir, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersebut.
Sudah saatnya bangsa ini sepakat bahwa tindakan pembungkaman pikiran ialah musuh bangsa dan peradaban.Para pelaku pembungkaman itu telah memukul mundur peradaban, yang pada ujungnya memukul mundur bangsa.
Terhadap kelompok seperti itu, sudah saatnya negara membuktikan janji untuk hadir dengan bertindak tegas.Saatnya pula kita mendorong penyampaian pendapat dengan cara yang lebih beradab melalui dialog dan beradu argumentasi lewat pendapat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
