Antropolog Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Teuku Kemal Fasya (kanan)/Istimewa
Antropolog Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Teuku Kemal Fasya (kanan)/Istimewa

Egoisme Daerah Disebut Picu Federalisme

25 Januari 2018 07:22
Jakarta: Egoisme atas nama politik otonomi menyebabkan daerah seenaknya membuat peraturan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal itu bisa memicu isu federalisme.
 
Dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Teuku Kemal Fasya mengatakan egoisme disebabkan sebagian besar pemimpin daerah tidak memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi.
 
"Jadi, pesan Presiden Joko Widodo (dalam rapat kerja) itu jelas agar pemerintah daerah disiplin menjadi bagian dari pemerintah pusat dalam mengejar capaian-capaian pembangunan nasional," ujar Kemal seperti dilansir Media Indonesia, Kamis, 25 Januari 2018.

Dalam rapat kerja dengan gubernur dan ketua DPRD, Presiden Joko Widodo mengingatkan pimpinan daerah tidak membuat kebijakan atau aturan sendiri yang tidak selaras dengan pemerintah pusat.
 
"Ini perlu saya ingatkan, yang namanya otonomi daerah itu bukan federal. Kita ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, hubungan pusat, provinsi, kabupaten, dan kota ini masih satu garis," kata Jokowi.
 
Kemal menyebutkan penerbitan perda yang menyimpang dari rambu-rambu kebijakan nasional malah bisa terjerembap pada bad governance dan perilaku koruptif.
 
"Jadi, politik otonomi daerah tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan moralitas sehingga memahami bahwa di tangan pemerintahan daerah ada tanggung jawab juga menjaga Indonesia sebagai gambaran besar pemerintahan," ucap dia.
 
Ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengungkapkan pesan Presiden Jokowi kepada pimpinan daerah tidak membuat perda yang tak selaras dengan kebijakan nasional merupakan bentuk kegundahan sebagai kepala negara. Persoalan itu tak terkait isu federalisme.
 
"Sebenarnya bukan tentang semangat federalisme yang meninggi di daerah, melainkan daerah itu semakin berani untuk membuat aturan sendiri. Ya, karena otonomi daerah tadi itu," ucap dia.
 
Bukan macam ompong
 
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan pemerintah pusat menganulir peraturan daerah, bukan berarti pemerintah pusat menjadi macan ompong. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri tetap bisa mengontrol pembuatan perda sebelum diterbitkan.
 
"Peran pusat itu sebelum jadi perda. Kalau sudah jadi perda, tidak boleh dibatalkan pusat karena itu sudah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sesuai Pasal 24A ayat 1 UUD 1945," kata Khairul ketika dihubungi, Rabu malam, 24 Januari 2018.
 
Menurut dia, pernyataan Presiden Jokowi sudah benar karena dalam konsep negara kesatuan, kebijakan-kebijakan daerah harus sejalan dengan pusat. "Khusus untuk yang berhubungan dengan urusan otonominya, pemda boleh mengambil keputusan sesuai kondisi daerahnya. Tapi kalau urusan yang bersifat kongruen dengan pusat, pemda tidak boleh bergerak secara berlawanan."
 
Khairul menjelaskan, daerah jangan menganggap pemerintah pusat tidak bisa mengontrol produk hukum daerah pascaputusan MK.
 
"Sebab pasal-pasal terkait evaluasi terhadap perda dalam UU Pemda masih tetap berlaku," ucap dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(OJE)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan