Jakarta: Pemerintah diminta menggencarkan program kemasyarakatan untuk mencegah intoleransi di Indonesia. Program tersebut diharapkan membangun kebinekaan.
“Pemerintah pusat dan daerah hendaknya menguatkan program kemasyarakatan yang mengarusutamakan interaksi antaragama dalam lingkungan sosial,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 April 2021.
Ismail menilai program tersebut penting guna memupuk kepercayaan, persaudaraan, serta memajukan toleransi di tengah masyarakat. Solidaritas akan membuat masyarakat tidak mudah diganggu doktrin keagamaan yang memecah belah.
“Sehingga dapat diminimalkan dampaknya bagi peningkatan intoleransi, segregasi, bahkan radikalisasi yang mengarah pada ekstremisme dan kekerasan,” papar dia.
Pemerintah, kata Ismail, juga perlu menggandeng masyarakat untuk menangkal hoaks. Pasalnya, berita ‘liar’ kerap dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk memecah masyarakat.
“Kami mendorong pemerintah mengarusutamakan keberagaman atau kebinekaan dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan inklusif,” tutur dia.
Baca: 180 Pelanggaran Kebebasan Beragama Terjadi Selama 2020
Sementara itu, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) diminta menerapkan pendekatan non pidana. Khususnya terkait kasus penodaan agama yang proses penyidikannya harus terukur dan adil.
“Sesuai dengan kerangka hukum dan hak asasi manusia (HAM),” tegas Ismail.
SETARA Institute menemukan 180 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) selama 2020. Seluruh pelanggaran itu tertuang dalam 422 tindakan.
Ismail menyebut jumlah pelanggaran KBB pada 2020 lebih rendah dibanding 2019 dengan temuan 200 pelanggaran. Namun, tindakan KBB pada 2020 lebih tinggi dibanding 327 pelanggaran pada 2019.
Jakarta: Pemerintah diminta menggencarkan program kemasyarakatan untuk mencegah intoleransi di Indonesia. Program tersebut diharapkan membangun kebinekaan.
“Pemerintah pusat dan daerah hendaknya menguatkan program kemasyarakatan yang mengarusutamakan interaksi antaragama dalam lingkungan sosial,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 April 2021.
Ismail menilai program tersebut penting guna memupuk kepercayaan, persaudaraan, serta memajukan
toleransi di tengah masyarakat. Solidaritas akan membuat masyarakat tidak mudah diganggu doktrin keagamaan yang memecah belah.
“Sehingga dapat diminimalkan dampaknya bagi peningkatan intoleransi, segregasi, bahkan radikalisasi yang mengarah pada ekstremisme dan kekerasan,” papar dia.
Pemerintah, kata Ismail, juga perlu menggandeng masyarakat untuk menangkal
hoaks. Pasalnya, berita ‘liar’ kerap dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk memecah masyarakat.
“Kami mendorong pemerintah mengarusutamakan keberagaman atau kebinekaan dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan inklusif,” tutur dia.
Baca:
180 Pelanggaran Kebebasan Beragama Terjadi Selama 2020
Sementara itu, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) diminta menerapkan pendekatan non pidana. Khususnya terkait kasus penodaan agama yang proses penyidikannya harus terukur dan adil.
“Sesuai dengan kerangka hukum dan hak asasi manusia (HAM),” tegas Ismail.
SETARA Institute menemukan 180 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) selama 2020. Seluruh pelanggaran itu tertuang dalam 422 tindakan.
Ismail menyebut jumlah pelanggaran KBB pada 2020 lebih rendah dibanding 2019 dengan temuan 200 pelanggaran. Namun, tindakan KBB pada 2020 lebih tinggi dibanding 327 pelanggaran pada 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)