medcom.id, Jakarta: Banyaknya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menjadi fungsionaris partai dan berpotensinya Ketua DPD dijabat Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) membuat DPD kehilangan fungsi kontrol mereka atas DPR.
Padahal, pembentukan DPD sebagai perwakilan daerah merupakan penyeimbang bagi DPR sebagai representasi parpol.
Hal itu dikatakan pengamat hukum tata negara dari PSHK Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk Perspektif Hukum, Otonomi Daerah, dan Representasi Politik terhadap Fenomena Parpolisasi DPD di Jakarta, Minggu 12 Maret 2017.
Diketahui, hingga saat ini 70 anggota DPD diklaim bergabung Hanura dan 27 di antara mereka masuk struktur kepengurusan.
Bivitri mengungkapkan konsep bikameral DPR dan DPD yang disepakati pascareformasi lalu merupakan bukti DPD dibentuk bukan untuk berada di bawah DPR, melainkan sejajar dengan DPR yang sama-sama ada di konstitusi.
"Dua (DPR dan DPD) lebih baik ketimbang satu (DPR). Kalau DPR tidak ada yang mengontrol berbahaya, kekuasaannya terlalu besar. Maka ada DPD sebagai penyeimbang," ujar Bivitri.
Dengan fenomena parpolisasi tersebut, Bivitri menyebutkan ada tiga dampak yang mungkin akan terjadi. Dampak jangka pendek ialah kemungkinan DPD akan dikuasai parpol-parpol sehingga tidak ada lagi perwakilan dari daerah.
Hal itu akan membuat DPR semakin leluasa dalam pembahasan UU meskipun MK melalui putusaan mereka menyebut DPD berwenang ikut membahas UU yang berkaitan dengan daerah.
"Kami khawatir kalau dikuasai parpol, DPD akan turun tingkatannya untuk mengawasi DPR," ucapnya
Dampak jangka menengah dengan dikuasainya DPD oleh parpol, DPR bisa leluasa mengubah UU MD3 dan UU Pemilu dengan melegitimasi kekuatan politik di DPD.
Dampak jangka panjangnya akan mengancam keutuhan UUD 1945 sehingga konsep bikameral dengan keberadaan DPD bisa kembali dipertanyakan dan berpotensi dibubarkan.
Untuk itu, Bivitri berpendapat perlunya larangan anggota DPD menjadi fungsionaris partai politik.
Jika tidak, pertanggungjawaban anggota DPD akan berpaling ke parpol dan bukan lagi ke daerah yang diwakili. Pelarangan tersebut, lanjut Bivitri, bisa diatur dalam revisi UU Pemilu yang kini tengah dibahas DPR bersama pemerintah.
Aspirasi bergeser
Di tempat sama, Direktur Komite Pemantau Legislatif Syamsudin Alimsyah menyebut tujuan pembentukan DPD untuk menjaga dari ancaman disintegrasi.
Aspirasi daerah yang tersumbat bisa diwakilkan DPD. Jika DPD dikuasai parpol, mandat yang diberikan kepada mereka tidak akan berjalan dengan baik.
Akibatnya, seluruh aspirasi dari daerah akan dipandang sebagai urusan politis dan penghitungan untung rugi.
"Cara pandang akan bergeser. Semua akan dipandang sebagai urusan politis. Pilihannya tunai (uang) atau suara karena dia punya kepentingan di situ," sebutnya.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan menilai DPD hadir untuk memberikan fungsi koreksi bagi parpol di DPR.
Jika akhirnya banyak diisi kader parpol, DPD akan kehilangan peran sebagai penyeimbang. "DPD semangat konstitusionalnya hadir sebagai lembaga penyeimbang di parlemen," pungkasnya. (Media Indonesia)
medcom.id, Jakarta: Banyaknya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menjadi fungsionaris partai dan berpotensinya Ketua DPD dijabat Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) membuat DPD kehilangan fungsi kontrol mereka atas DPR.
Padahal, pembentukan DPD sebagai perwakilan daerah merupakan penyeimbang bagi DPR sebagai representasi parpol.
Hal itu dikatakan pengamat hukum tata negara dari PSHK Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk Perspektif Hukum, Otonomi Daerah, dan Representasi Politik terhadap Fenomena Parpolisasi DPD di Jakarta, Minggu 12 Maret 2017.
Diketahui, hingga saat ini 70 anggota DPD diklaim bergabung Hanura dan 27 di antara mereka masuk struktur kepengurusan.
Bivitri mengungkapkan konsep bikameral DPR dan DPD yang disepakati pascareformasi lalu merupakan bukti DPD dibentuk bukan untuk berada di bawah DPR, melainkan sejajar dengan DPR yang sama-sama ada di konstitusi.
"Dua (DPR dan DPD) lebih baik ketimbang satu (DPR). Kalau DPR tidak ada yang mengontrol berbahaya, kekuasaannya terlalu besar. Maka ada DPD sebagai penyeimbang," ujar Bivitri.
Dengan fenomena parpolisasi tersebut, Bivitri menyebutkan ada tiga dampak yang mungkin akan terjadi. Dampak jangka pendek ialah kemungkinan DPD akan dikuasai parpol-parpol sehingga tidak ada lagi perwakilan dari daerah.
Hal itu akan membuat DPR semakin leluasa dalam pembahasan UU meskipun MK melalui putusaan mereka menyebut DPD berwenang ikut membahas UU yang berkaitan dengan daerah.
"Kami khawatir kalau dikuasai parpol, DPD akan turun tingkatannya untuk mengawasi DPR," ucapnya
Dampak jangka menengah dengan dikuasainya DPD oleh parpol, DPR bisa leluasa mengubah UU MD3 dan UU Pemilu dengan melegitimasi kekuatan politik di DPD.
Dampak jangka panjangnya akan mengancam keutuhan UUD 1945 sehingga konsep bikameral dengan keberadaan DPD bisa kembali dipertanyakan dan berpotensi dibubarkan.
Untuk itu, Bivitri berpendapat perlunya larangan anggota DPD menjadi fungsionaris partai politik.
Jika tidak, pertanggungjawaban anggota DPD akan berpaling ke parpol dan bukan lagi ke daerah yang diwakili. Pelarangan tersebut, lanjut Bivitri, bisa diatur dalam revisi UU Pemilu yang kini tengah dibahas DPR bersama pemerintah.
Aspirasi bergeser
Di tempat sama, Direktur Komite Pemantau Legislatif Syamsudin Alimsyah menyebut tujuan pembentukan DPD untuk menjaga dari ancaman disintegrasi.
Aspirasi daerah yang tersumbat bisa diwakilkan DPD. Jika DPD dikuasai parpol, mandat yang diberikan kepada mereka tidak akan berjalan dengan baik.
Akibatnya, seluruh aspirasi dari daerah akan dipandang sebagai urusan politis dan penghitungan untung rugi.
"Cara pandang akan bergeser. Semua akan dipandang sebagai urusan politis. Pilihannya tunai (uang) atau suara karena dia punya kepentingan di situ," sebutnya.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan menilai DPD hadir untuk memberikan fungsi koreksi bagi parpol di DPR.
Jika akhirnya banyak diisi kader parpol, DPD akan kehilangan peran sebagai penyeimbang. "DPD semangat konstitusionalnya hadir sebagai lembaga penyeimbang di parlemen," pungkasnya. (
Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)