medcom.id, Jakarta: Militer dan masyarakat sipil di Indonesia dianggap masih kurang bersinergi. Hal tersebut menyebabkan beberapa kelemahan, terutama dalam upaya penanganan kondisi kritis, seperti bencana alam.
"Sebenarnya selama ini tidak ada masalah antara hubungan sipil dan militer di Indonesia. Namun, dalam hal aturan, belum ada payung hukum yang mengatur agar keduanya dapat bersinergi dengan cepat dalam kondisi tertentu," kata I Wayan Midhio, dalam sidang terbuka promosi doktor yang berjudul Kerjasama Sipil-Militer Dalam Manajemen Sistem Pertahanan Negara, di Universitas Negeri Jakarta, Jumat 7 April 2017.
Dijelaskan Midhio, kekurangan sinergi militer dan sipil sering dijumpai dalam penanganan bencana. Akibat pemisahan peran antara militer dan sipil, ia menilai, sering ada konflik antar instansi.
"Perlu ada penataan kerja sama sipil militer. Selama ini hanya dilihat dari aspek politik saja," ujar Midhio.
Untuk menghindari hal tersebut terus terjadi, dikatakan Midhio, perlu dilakukan penyusunan aturan yang berfungsi sebagai payung hukum keterlibatan sipil dan militer dalam melakukan tugas, khususnya operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya diatur 14 peran TNI yang mayoritas mengatur peran TNI dalam operasi militer perang (OMP). Belum ada aturan mendalam mengenai peran dalam OMSP.
"Kita masih butuh payung hukum dalam bentuk undang-undang soal ketahanan nasional yang hingga saat ini masih mengalami hambatan di tahap regulasi," ujar Midhio.
Guru Besar Tetap Universitas Suryadharma Jakarta, Billy Tunas, mengatakan, upaya pengaturan hubungan sipil dan militer yang lebih baik, khususnya dari segi regulasi memang relevan. Namun, dibutuhkan bentuk perencanaan dan matriks hubungan antarlembaga yang dibuat secara ekaklusif dan mendalam.
"Hal itu harus dituangkan dalam soft ware yang lebih lengkap. Kalau itu dilakukan akan bisa diwujudkan dengan baik. Akan bisa lebih konkret nanti hasilnya," ujar Billy.
medcom.id, Jakarta: Militer dan masyarakat sipil di Indonesia dianggap masih kurang bersinergi. Hal tersebut menyebabkan beberapa kelemahan, terutama dalam upaya penanganan kondisi kritis, seperti bencana alam.
"Sebenarnya selama ini tidak ada masalah antara hubungan sipil dan militer di Indonesia. Namun, dalam hal aturan, belum ada payung hukum yang mengatur agar keduanya dapat bersinergi dengan cepat dalam kondisi tertentu," kata I Wayan Midhio, dalam sidang terbuka promosi doktor yang berjudul Kerjasama Sipil-Militer Dalam Manajemen Sistem Pertahanan Negara, di Universitas Negeri Jakarta, Jumat 7 April 2017.
Dijelaskan Midhio, kekurangan sinergi militer dan sipil sering dijumpai dalam penanganan bencana. Akibat pemisahan peran antara militer dan sipil, ia menilai, sering ada konflik antar instansi.
"Perlu ada penataan kerja sama sipil militer. Selama ini hanya dilihat dari aspek politik saja," ujar Midhio.
Untuk menghindari hal tersebut terus terjadi, dikatakan Midhio, perlu dilakukan penyusunan aturan yang berfungsi sebagai payung hukum keterlibatan sipil dan militer dalam melakukan tugas, khususnya operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya diatur 14 peran TNI yang mayoritas mengatur peran TNI dalam operasi militer perang (OMP). Belum ada aturan mendalam mengenai peran dalam OMSP.
"Kita masih butuh payung hukum dalam bentuk undang-undang soal ketahanan nasional yang hingga saat ini masih mengalami hambatan di tahap regulasi," ujar Midhio.
Guru Besar Tetap Universitas Suryadharma Jakarta, Billy Tunas, mengatakan, upaya pengaturan hubungan sipil dan militer yang lebih baik, khususnya dari segi regulasi memang relevan. Namun, dibutuhkan bentuk perencanaan dan matriks hubungan antarlembaga yang dibuat secara ekaklusif dan mendalam.
"Hal itu harus dituangkan dalam soft ware yang lebih lengkap. Kalau itu dilakukan akan bisa diwujudkan dengan baik. Akan bisa lebih konkret nanti hasilnya," ujar Billy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)