Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id

Lestari Moerdijat: Kendala Proses Hukum Kekerasan Seksual dan KDRT Harus Segera Diatasi

Arga sumantri • 31 Mei 2023 20:33
Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) menyampaikan kendala dalam proses hukum berbagai kasus kekerasan harus segera diatasi. Hal ini agar para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tindak kekerasan seksual di Tanah Air mendapatkan hak perlindungannya sebagai warga negara. 
 
"Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi," kata Rerie dalam diskusi daring bertema Apa Masalah Krusial dalam Penerapan UU PKDRT DAN UU TPKS? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 31 Mei 2023.
 
Menurut dia, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan dasar hukum perlindungan bagi korban kekerasan di Indonesia. 

"Belum bisa diterapkannya secara maksimal UU TPKS dan UU PKDRT hingga saat ini, apakah merupakan pembiaran atau ada konstruksi berpikir yang salah dipahami?" ujar Rerie sapaan akrab Lestari.
 
Menurut dia, pemahaman menyeluruh terkait substansi UU tersebut menjadi faktor penentu untuk merealisasikan aspek perlindungan yang diamanatkan UU tersebut. Ia menilai tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara efek kehadiran UU PKDRT dan UU TPKS akan melemah.
 
"Karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan," ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
 
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Ciceu Cahyati Dwimeilawati mengungkapkan selama ini kepolisian sudah memiliki sejumlah dasar hukum untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Periode 2018-2022, ungkap Ciceu, tindak kekerasan yang menimpa perempuan terbanyak dalam bentuk KDRT, perkosaan, dan pencabulan. 
 
"Keterbatasan jumlah SDM penyidik, ahli dan biaya pemeriksaan untuk pembuktian ilmiah yang relatif mahal menjadi kendala dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas," kata Ciceu.
 
Ciceu merekomendasikan sejumlah upaya agar implementasi UU PKDRT dapat dilakukan dengan baik. Antara lain dalam bentuk sistem monitoring dan evaluasi terpadu untuk membenahi kekurangan dalam implementasi UU PKDRT. Sehingga, bisa menjadi edukasi masyarakat agar tidak terjadi pengulangan kasus dengan modus dan motif yang sama. 
 
"Selain itu perlu ada pedoman kesepahaman bersama mengenai substansi UU PKDRT antara aparat penegak hukum dan kerjasama kelompok kerja perempuan anak terpadu antar aparat penegak hukum yang ber prespektif HAM dan gender," jelas Ciceu.
 
Baca: Layanan Kesehatan Preventif dan Promotif Butuh Dukungan Semua Pihak

Kendala UU PKDRT

Jaksa Ahli Madya pada Jampidum Kejaksaan Agung Erni Mustikasari mengungkapkan UU PKDRT yang sudah berlaku sejak diundangkan 20 tahun lalu, cukup menghadapi banyak kendala dalam penerapannya. Kehadiran UU tersebut bertujuan selain mencegah terjadinya kekerasan dan melindungi korban KDRT, sekaligus memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis. 
 
Menurut dia, tujuan UU PKDRT tersebut menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam penyelesaian sejumlah kasus KDRT. Dalam proses hukum, kata dia, saksi-saksi yang hadir bisa dipastikan memiliki kedekatan dengan terdakwa, sehingga pembuktiannya cukup sulit. 
 
"Setelah diundangkannya UU TPKS, harus segera dilakukan harmonisasi antara KUHP yang baru serta UU PKDRT, agar sejumlah aturan terkait perlindungan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu dapat diaplikasikan dengan baik," jelas Erni.
 
Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari berpendapat semangat pro korban kekerasan seksual dan KDRT dari penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS. Sebab, dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai.
 
"Akhirnya korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan," ujar Eva.
 
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat kecenderungan korban tindak kekerasan seksual dan KDRT adalah perempuan. Sehingga, kata Saur, perlu dipertimbangkan dalam proses hukum kasus-kasus tersebut aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa yang bertugas adalah perempuan. 
 
"Agar proses hukum yang berjalan bisa diterapkan dengan perspektif kaum perempuan.  Karena semua kejahatan seksual dan KDRT salah satunya bersumber dari budaya patriarki yang berlaku di masyarakat," ucap Saur.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan