medcom.id, Jakarta: Suasana kebatinan bangsa saat ini terseret dalam polarisasi keagamaan yang tajam. Keislaman kerap dipertentangkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Sementara itu, nilai-nilai kebangsaan terkubur dan kalah populer ketimbang sentimen agama.
Pandangan itu disampaikan intektual muda muslim Fajar Riza Ul Haq seusai meluncurkan buku berjudul Membela Islam, Membela Kemanusian, di Auditorium Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu malam 18 Oktober 2017.
Mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute itu mengatakan polarisasi identitas yang membelah masyarakat saat ini tengah muncul ke permukaan. Padahal, sambungnya, kehidupan beragama dan bernegara di Tanah Air dalam 10 tahun terakhir relatif sudah mengalami pendewasaan.
"Problemnya saat ini ialah sentimen dan emosi agama dikerahkan menjadi sentimen publik," kata dia.
Ia mengatakan Pilkada DKI Jakarta yang lalu dengan serentetan Aksi Bela Islam sebagai contohnya. Ia juga menambahkan isu pribumi dan nonpribumi yang belakangan dilontarkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
"Orang mulai dipaksa untuk menonjolkan identitasnya. Apakah etnik atau itu agama. Kedewasaan masyarakat kita di dalam berdemokrasi sedang diuji. Nah, kalau istilah itu (pribumi dan nonpribumi) ditimbulkan kembali dengan sentimen politik dan rasial itu bisa membelah masyarakat yang sekarang memang sedang terpolarisasi," kata dia.
Lebih lanjut ia mengatakan, nilai-nilai kebangsaan dan kemanusian tak perlu dipertentangkan dengan nilai keagamaan. Baik itu Islam ataupun agama lain. Dirinya mencontohkan Mohammad Hatta yang menyatakan 100% Islam sekaligus 100% Indonesia. Begitu juga dengan Soegijapranata yang mengatakan 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.
"Masyarakat terbelah menjadi hitam dan putih dan tidak punya alternatif. Pandangan alternatif itu sebenarnya sudah menjadi konsensus nasional. Ada kearifan-kearifan dari para pendiri bangsa yang sekarang tenggelam," imbuhnya.
Karena itu, menurut Fajar, elite politik dan pemimpin agama perlu menahan diri untuk tak melontarkan pernyataan yang bisa memicu sentimen agama dan rasial. Negara juga wajib mengelola keberagaman secara serius. "Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan kematangan dalam berdemokrasi."
Keadilan sosial telantar
Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Sudhamek AWS menyayangkan saat ini bertumbuh ekspresi keagamaan yang makin radikal. Menurutnya, masyarakat tidak perlu berpandangan secara dikotomis.
Perbedaan harus dilihat sebagai keragaman. "Islam dan agama lain harus mempromosikan kedamaian, bukan pertentangan," katanya.
Cendekiawan yang juga anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Ahmad Syafii Maarif mengatakan sebagian besar orang tidak lagi melihat inti dari keislaman yaitu kemanusiaan. Hal itu menyebabkan kalangan muslim kerap bergesekan dengan penganut agama lain.
Terkait dengan Pancasila, dirinya mengatakan masih dicari pola terbaik agar nilai-nilai luhur dalam Pancasila bisa dibumikan.
"Yang telantar itu sebenarnya sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Itu belum pernah dijadikan pedoman dalam membangun masyarakat sejak awal sejak kita merdeka. Itu bukan hanya untuk di bidang pendidikan, tapi juga birokrat dan politikus," ucapnya. (Dhika Kusuma Winata)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/yNLQA89b" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Suasana kebatinan bangsa saat ini terseret dalam polarisasi keagamaan yang tajam. Keislaman kerap dipertentangkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Sementara itu, nilai-nilai kebangsaan terkubur dan kalah populer ketimbang sentimen agama.
Pandangan itu disampaikan intektual muda muslim Fajar Riza Ul Haq seusai meluncurkan buku berjudul Membela Islam, Membela Kemanusian, di Auditorium Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu malam 18 Oktober 2017.
Mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute itu mengatakan polarisasi identitas yang membelah masyarakat saat ini tengah muncul ke permukaan. Padahal, sambungnya, kehidupan beragama dan bernegara di Tanah Air dalam 10 tahun terakhir relatif sudah mengalami pendewasaan.
"Problemnya saat ini ialah sentimen dan emosi agama dikerahkan menjadi sentimen publik," kata dia.
Ia mengatakan Pilkada DKI Jakarta yang lalu dengan serentetan Aksi Bela Islam sebagai contohnya. Ia juga menambahkan isu pribumi dan nonpribumi yang belakangan dilontarkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
"Orang mulai dipaksa untuk menonjolkan identitasnya. Apakah etnik atau itu agama. Kedewasaan masyarakat kita di dalam berdemokrasi sedang diuji. Nah, kalau istilah itu (pribumi dan nonpribumi) ditimbulkan kembali dengan sentimen politik dan rasial itu bisa membelah masyarakat yang sekarang memang sedang terpolarisasi," kata dia.
Lebih lanjut ia mengatakan, nilai-nilai kebangsaan dan kemanusian tak perlu dipertentangkan dengan nilai keagamaan. Baik itu Islam ataupun agama lain. Dirinya mencontohkan Mohammad Hatta yang menyatakan 100% Islam sekaligus 100% Indonesia. Begitu juga dengan Soegijapranata yang mengatakan 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.
"Masyarakat terbelah menjadi hitam dan putih dan tidak punya alternatif. Pandangan alternatif itu sebenarnya sudah menjadi konsensus nasional. Ada kearifan-kearifan dari para pendiri bangsa yang sekarang tenggelam," imbuhnya.
Karena itu, menurut Fajar, elite politik dan pemimpin agama perlu menahan diri untuk tak melontarkan pernyataan yang bisa memicu sentimen agama dan rasial. Negara juga wajib mengelola keberagaman secara serius. "Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan kematangan dalam berdemokrasi."
Keadilan sosial telantar
Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Sudhamek AWS menyayangkan saat ini bertumbuh ekspresi keagamaan yang makin radikal. Menurutnya, masyarakat tidak perlu berpandangan secara dikotomis.
Perbedaan harus dilihat sebagai keragaman. "Islam dan agama lain harus mempromosikan kedamaian, bukan pertentangan," katanya.
Cendekiawan yang juga anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Ahmad Syafii Maarif mengatakan sebagian besar orang tidak lagi melihat inti dari keislaman yaitu kemanusiaan. Hal itu menyebabkan kalangan muslim kerap bergesekan dengan penganut agama lain.
Terkait dengan Pancasila, dirinya mengatakan masih dicari pola terbaik agar nilai-nilai luhur dalam Pancasila bisa dibumikan.
"Yang telantar itu sebenarnya sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Itu belum pernah dijadikan pedoman dalam membangun masyarakat sejak awal sejak kita merdeka. Itu bukan hanya untuk di bidang pendidikan, tapi juga birokrat dan politikus," ucapnya. (Dhika Kusuma Winata)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)