medcom.id, Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menolak tudingan telah memberlakukan standar ganda menyikapi perpecahan partai politik. Menurut Kementerian Hukum, perpecahan di tubuh Partai Golkar berbeda dengan yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Saya dipaksa mengambil keputusan tujuh hari dalam dua Munas Partai Golkar. PPP kan tidak. Itu kan hari terakhir, hari yang ketujuh. Memang dua pertiga (pemilik suara menghadiri Muktamar PPP versi Romahurmuziy)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam konferensi pers di Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenkum HAM, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2014).
Yasonna menjelaskan, perselisihan di internal Partai Golkar jauh berbeda dengan perselisihan yang terjadi di internal PPP. Perbedaan itu terjadi pada sudut pandang, penyerahan dan permohonan hasil muktamar dua kubu PPP diajukan dalam waktu yang berbeda jauh.
"Mungkin beda halnya, kalau pada hari yang sama ada Munas tandingan yang sama, yang membuat kami (yakin ada) dinamika (internal). Sangat berbeda. PPP dengan (Golkar) ini case-nya sangat berbeda. Bayangin saja, hari yang sama menyerahkan kepungurusan, kita teliti Munasnya. Bahkan ada peserta Munas Bali yang masuk lagi di Munas Ancol. Ini persoalan," terang Yasonna.
Dalam dualisme kepemimpinan Golkar, Kementerian Hukum dan HAM tidak memberi keputusan apapun. Menteri Yasonna mengembalikan penyelesaikan kepada mekanisme internal partai, Ini berbeda dengan pengakuan PPP kubu Romahurmuziy yang melakukan Muktamar di Surabaya.
Dalam kasus PPP, kubu Romahurmuziy lebih dulu melaporkan hasil Muktamar Surabaya ke Kementerian Hukum dan HAM. Sementara kubu Djan Faridz baru menggelar Muktamar di Jakarta setelah Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan hasil Muktamar di Surabaya.
"Ini membuat kita, pemerintah harus berdiri netral," tegas Yasonna.
medcom.id, Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menolak tudingan telah memberlakukan standar ganda menyikapi perpecahan partai politik. Menurut Kementerian Hukum, perpecahan di tubuh Partai Golkar berbeda dengan yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Saya dipaksa mengambil keputusan tujuh hari dalam dua Munas Partai Golkar. PPP kan tidak. Itu kan hari terakhir, hari yang ketujuh. Memang dua pertiga (pemilik suara menghadiri Muktamar PPP versi Romahurmuziy)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam konferensi pers di Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenkum HAM, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2014).
Yasonna menjelaskan, perselisihan di internal Partai Golkar jauh berbeda dengan perselisihan yang terjadi di internal PPP. Perbedaan itu terjadi pada sudut pandang, penyerahan dan permohonan hasil muktamar dua kubu PPP diajukan dalam waktu yang berbeda jauh.
"Mungkin beda halnya, kalau pada hari yang sama ada Munas tandingan yang sama, yang membuat kami (yakin ada) dinamika (internal). Sangat berbeda. PPP dengan (Golkar) ini case-nya sangat berbeda. Bayangin saja, hari yang sama menyerahkan kepungurusan, kita teliti Munasnya. Bahkan ada peserta Munas Bali yang masuk lagi di Munas Ancol. Ini persoalan," terang Yasonna.
Dalam dualisme kepemimpinan Golkar, Kementerian Hukum dan HAM tidak memberi keputusan apapun. Menteri Yasonna mengembalikan penyelesaikan kepada mekanisme internal partai, Ini berbeda dengan pengakuan PPP kubu Romahurmuziy yang melakukan Muktamar di Surabaya.
Dalam kasus PPP, kubu Romahurmuziy lebih dulu melaporkan hasil Muktamar Surabaya ke Kementerian Hukum dan HAM. Sementara kubu Djan Faridz baru menggelar Muktamar di Jakarta setelah Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan hasil Muktamar di Surabaya.
"Ini membuat kita, pemerintah harus berdiri netral," tegas Yasonna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)