Jakarta: Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai partai politik (parpol) biang keladi pembusukan demokrasi. Sebab, mayoritas kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah korupsi politik.
"Hingga 2019, lebih dari 60 persen kasus yang ditangani KPK adalah korupsi politik. Pelakunya punya kaitan dengan parpol," ujar Arif dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 11 Januari 2020.
Arif menjelaskan tiga faktor. Pertama, pemusatan kekuasaan. Hampir semua parpol mengalami sentralisasi kekuasan. Ketua, sekjen, dan elite partai mengakumulasi kekuasaan sehingga putusan yang melibatkan parpol dan secara praktis memusat di mereka. Ia mencontohkan PDI Perjuangan yang kuat dalam hal ini.
"Bagaiman mungkin putusan DPC untuk mengajukan bakal calon wali kota bisa dianulir oleh DPP?" ia mencontohkan.
Arif juga menegaskan potensi penyelewengan kekuasaan sangat besar jika sistem sentralisasi pusat teraplikasi.
Kedua, lanjutnya, parpol membangun relasi yang bersifat klientalistik. Ada dua peran, patron dan klien. Patron adalah parpol. Klien adalah calon legislatif atau eksekutif dan massa pemilih.
Menurut Arif semua kasus korupsi besar seperti kasus Hambalang atau KTP-el dilakukan oleh anggota DPR yang mengalirkan hasil korupsi untuk penyelenggaraan kegiatan parpol. Misalnya rakernas atau kongres.
"Ini menunjukkan bahwa keputusan yang dibuat elite parpol tak lepas dari bagaimana klien memberikan sesuatu pada patron," simpul dia.
Terakhir, lemahnya komunikasi politik. Pemilu berbiaya tinggi karena komunikasi politik dalam parpol berlangsung temporer. Kuat saat menjelang pemilu dan lemah pascapemilu.
"Pemilih adalah raja menjelang pemilu tetapi bukan siapa-siapa setelah itu," ia menekankan.
Oleh karena itu, salah satu cara elite untuk bisa dipilih, walau tak terkenal, adalah memberikan sesuatu pada pemilih. Inilah yang membuat demokrasi semakin busuk di tanah air.
Jakarta: Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai partai politik (parpol) biang keladi pembusukan demokrasi. Sebab, mayoritas kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah korupsi politik.
"Hingga 2019, lebih dari 60 persen kasus yang ditangani KPK adalah korupsi politik. Pelakunya punya kaitan dengan parpol," ujar Arif dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 11 Januari 2020.
Arif menjelaskan tiga faktor. Pertama, pemusatan kekuasaan. Hampir semua parpol mengalami sentralisasi kekuasan. Ketua, sekjen, dan elite partai mengakumulasi kekuasaan sehingga putusan yang melibatkan parpol dan secara praktis memusat di mereka. Ia mencontohkan PDI Perjuangan yang kuat dalam hal ini.
"Bagaiman mungkin putusan DPC untuk mengajukan bakal calon wali kota bisa dianulir oleh DPP?" ia mencontohkan.
Arif juga menegaskan potensi penyelewengan kekuasaan sangat besar jika sistem sentralisasi pusat teraplikasi.
Kedua, lanjutnya, parpol membangun relasi yang bersifat klientalistik. Ada dua peran, patron dan klien. Patron adalah parpol. Klien adalah calon legislatif atau eksekutif dan massa pemilih.
Menurut Arif semua kasus korupsi besar seperti kasus Hambalang atau KTP-el dilakukan oleh anggota DPR yang mengalirkan hasil korupsi untuk penyelenggaraan kegiatan parpol. Misalnya rakernas atau kongres.
"Ini menunjukkan bahwa keputusan yang dibuat elite parpol tak lepas dari bagaimana klien memberikan sesuatu pada patron," simpul dia.
Terakhir, lemahnya komunikasi politik. Pemilu berbiaya tinggi karena komunikasi politik dalam parpol berlangsung temporer. Kuat saat menjelang pemilu dan lemah pascapemilu.
"Pemilih adalah raja menjelang pemilu tetapi bukan siapa-siapa setelah itu," ia menekankan.
Oleh karena itu, salah satu cara elite untuk bisa dipilih, walau tak terkenal, adalah memberikan sesuatu pada pemilih. Inilah yang membuat demokrasi semakin busuk di tanah air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)