Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Antara/Wahyu Putro
Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Antara/Wahyu Putro

Ketua DPD: Presidential Threshold Pemicu Konflik di Masyarakat

Anggi Tondi Martaon • 31 Oktober 2021 19:39
Jakarta: Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengkritisi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen. Ketentuan tersebut dianggap penyebab maraknya konflik horizontal di masyarakat akibat polarisasi yang tajam.
 
“Di sinilah akar masalah terjadinya konflik-konflik itu. Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali pemilihan presiden (pilpres), hanya menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” kata La Nyalla melalui keterangan tertulis, Minggu, 31 Oktober 2021.
 
Perpecahan tersebut makin parah dengan pesan yang dihasilkan. Pola komunikasi elite politik dianggap mengedepankan kegaduhan.

Puncaknya, anak bangsa secara tidak sadar membenturkan Pancasila dengan Islam. Padahal, tidak ada pertentangan di antara kedua hal tersebut.
 
"Tapi karena semangat saling antithesa, muncul idiom saya Pancasila dan saya Islam, seolah berbeda. Ini sangat merugikan kita sebagai bangsa,” ungkap dia.
 
Akhirnya muncul istilah kampret, cebong, kadrun, dan lain sebagainya. Perbedaan pilihan tersebut bahkan membuat sesama anak bangsa saling memersekusi, bahkan melaporkan ke ranah hukum.
 
Menurut dia, permasalahan tersebut tidak cukup hanya dengan mengedepankan kegiatan atau narasi bertema Kebinekaan secara masif di Indonesia. Berbagai pembelahan di masyarakat itu harus dituntaskan dari akar masalah atau persoalan di hulu.
 
Selain terjadinya konflik, dampak negatif lainnya dari presidential threshold adalah mengerdilkan potensi bangsa. Sebab, banyak calon pemimpin yang berkompeten.
 
Namun, kemunculannya digembosi aturan main yang mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. “Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik,” sebut dia.
 
Baca: Survei: Masyarakat Belum Kebayang Pengganti Jokowi di 2024
 
Presidential threshold 20 persen juga berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Sebab, peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi lantaran calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket maju pilpres.
 
Terakhir, ambang batas pencalonan membuat partai politik kecil makin tak berdaya di hadapan partai politik besar. Ini terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.
 
“Dengan aturan ambang batas itu, peluang kader partai politik kecil untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan