medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil sejumlah putusan terkait aturan kepesertaan dalam pilkada. Salah satunya, kewajiban anggota DPR mundur jika menjadi calon kepala daerah.
"Ini pukulan telak bagi DPR, undang-undang yang sudah dibahas beberapa kali akhirnya dimentahkan, pelajaran bagi DPR," kata peneliti senior Formappi Sebastian Salang dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/7/2015).
Putusan itu membuat DPR sama posisi dengan PNS. Apalagi kemudian, MK juga mencabut Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang politik dinasti.
Putusan MK ini, kata dia, memberi pelajaran bagi DPR agar tidak sembarangan dalam membuat UU. Bahkan dia menilai, bukan hanya sembarangan, namun anggota dewan kerap menjadikan UU sebagai alat kepentingan fragmatis jangka pendek mereka.
"Putusan MK ini mengejutkan, yang mengajukan merasa gagal perjuangannya. Pasti ada yang menerima dan menolak putusan MK," tambahnya.
Namun, dia juga berikan catatan khusus atas putusan MK terkait aturan kepesertaan Pemilihan Kepala Daerah. Dia mencatat dari segi upaya meluruskan UU, putusan MK ini sangat baik.
"Catatan lain, yang jelas civil society, penyelenggara pemilu, politik dinasti bukan sesuatu yang haram, tapi bagaimana caranya incumbent itu tidak memanfaatkan jabatannya untuk memenangkan seseorang," tegas dia.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil sejumlah putusan terkait aturan kepesertaan dalam pilkada. Salah satunya, kewajiban anggota DPR mundur jika menjadi calon kepala daerah.
"Ini pukulan telak bagi DPR, undang-undang yang sudah dibahas beberapa kali akhirnya dimentahkan, pelajaran bagi DPR," kata peneliti senior Formappi Sebastian Salang dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/7/2015).
Putusan itu membuat DPR sama posisi dengan PNS. Apalagi kemudian, MK juga mencabut Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang politik dinasti.
Putusan MK ini, kata dia, memberi pelajaran bagi DPR agar tidak sembarangan dalam membuat UU. Bahkan dia menilai, bukan hanya sembarangan, namun anggota dewan kerap menjadikan UU sebagai alat kepentingan fragmatis jangka pendek mereka.
"Putusan MK ini mengejutkan, yang mengajukan merasa gagal perjuangannya. Pasti ada yang menerima dan menolak putusan MK," tambahnya.
Namun, dia juga berikan catatan khusus atas putusan MK terkait aturan kepesertaan Pemilihan Kepala Daerah. Dia mencatat dari segi upaya meluruskan UU, putusan MK ini sangat baik.
"Catatan lain, yang jelas civil society, penyelenggara pemilu, politik dinasti bukan sesuatu yang haram, tapi bagaimana caranya incumbent itu tidak memanfaatkan jabatannya untuk memenangkan seseorang," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TII)