Jakarta: Wancana pemindahan Ibu Kota kembali bergema. Sayup-sayup wacana ini berembus dari Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 29 April 2019. Presiden Joko Widodo tak menginginkan Ibu Kota Negara berada di Pulau Jawa. Sebab, hampir 57 persen dari total penduduk Indonesia tinggal di Jawa.
Menurutnya, pemindahan Ibu Kota diyakini mempermudah pemerataan pembangunan di Indonesia.
Pemindahan Ibu Kota Negara memiliki tiga alternatif. Alternatif pertama, Ibu Kota tetap berada di Jakarta, tetapi dibuat distrik khusus pemerintahan di sekitar Istana Kepresidenan dan Monumen Nasional.
Baca: Pemindahan Ibu Kota Segera Dikonsultasikan ke DPR
Alternatif kedua dengan memindahkan pusat pemerintahan dekat dengan Jakarta, misalnya sekitar Jabodetabek. Sedangkan, alternatif ketiga memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa.
'Senayan' pun, menanggapi wacana ini. Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong pemerintah melakukan studi kelayakan Ibu Kota secara mendalam. Terutama dari sisi infrastruktur yang mendukung wilayah tersebut menjadi Ibu Kota.
Bamsoet juga mengingatkan bahwa pemindahan Ibu Kota memerlukan biaya yang tak sedikit. "Sehingga pemindahan Ibu Kota dapat terlaksana sesuai tahapan yang telah direncanakan," kata Bamsoet.
Sementara itu, Polri mendukung dan menyukseskan setiap kebijakan pemerintah. Polri pun bakal menyiapkan mekanisme pengamanan. "Tentunya Polri mendukung, karena ini demi kebaikan bangsa dari segala aspek,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 30 April 2019.
Ibu Kota Pernah Pindah
Riuh soal pemindahan Ibu Kota, sebanarnya Ibu Kota sudah pernah berpindah. Dihimpun dari berbagai sumber, faktor keselamatan dan kemanan pada Januari tahun 1946, memaksa Ibu Kota berpindah. Saat itu Ibu Kota berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Saat itu, Kraton Yogyakarta yang menanggung biaya operasional para pejabat RI selama berada di Yogyakarta.
Sebab, kas Negara RI saat itu sedang kosong. Jumlah yang dikeluarkan kas Kraton diperkirakan mencapai 6 juta gulden. Dengan modal itu, pemerintahan RI yang masih sangat belia bisa terus menjalankan roda pemerintahannya.
Istana Kepresidenan yang berlokasi di Gedung Agung yang ditinggalkan Jepang. Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman menyediakan berbagai perabotan dan peralatan secara lengkap, agar kegiatan pemerintahan bisa berjalan semestinya.
Selain itu, pihak Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman juga memberikan tempat penginapan kepada segenap jajaran pejabat tinggi dari Jakarta yang ikut hijrah ke Yogyakarta. Mereka ada yang tinggal di lingkungan Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, selain di rumah-rumah penduduk. Hal ini juga diikuti rakyat Yogyakarta dengan menyumbangkan tenaga, makanan dan harta benda.
Pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, dimana seluruh pemimpin Republik ditangkap Belanda dan diasingkan ke berbagai tempat. Sehingga pemerintah Republik terpaksa membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr. Sjafroedin Prawiranegara di Sumatra Barat.
Ibu Kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 dan kemudian ke Jakarta pada 17 Agustus 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mencuatnya Palangkaraya
Wacana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah kembali mencuat pada 1957. Palangkaraya yang merupakan kota dengan wilayah terluas di Indonesia. Luasnya mencapai 2.400 kilometer persegi.
Rencana tersebut belum kunjung terlaksana, hingga pada tahun 1965, Soekarno kembali menyebut rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Palangkaraya. Namun rencana tak kunjung terealisasi.
Orba Sempat Usulkan Jonggol
Pada Era Orde Baru (Orba) Presiden Soeharto juga sempat menggelontorkan wacana memindahkan Ibu Kota. Jonggol menjadi daerah yang sempat diproyeksikan. Soeharto menunjukkan keseriusannya melalui Keppres Nomor 1 Yahun 11997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Rencana Pemindahan Ibu Kota. Namun, rencana itu tak terwujud.
Sidrap Jadi Primadona
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, ide pemindahan Ibu Kota deras bergulir. Berbeda saat orde baru, kota Sidrap di Sulawesi Selatan menjadi primadona pengganti Jakarta.
Sidrap dianggap strategis dan letaknya berada di tengah-tengah Indonesia. Diharapkan pemerataan dapat terwujud jika Ibu Kota berada di tengah Indonesia. Hingga kepemimpinan Habibie, wacana itu tak terwujud.
SBY Ikut Rencanakan Pemindahan Ibu Kota
Di tahun 2010, wacana pemindahan Ibu Kota kembali terdengar. Bahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk sebuah tim khusus. Tim tersebut mengkaji pemindahan Ibu Kota.
Ada beberapa daerah yang memiliki pontensi menjadi pengganti Jakarta. Selain Palangkaraya, Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah. Namun, lagi-lagi wacana tersebut kembali tenggelam hingga akhir masa kepemimpinan SBY.
Era Pemerintahan Jokowi
Saat awal era pemerintahan Jokowi pada 2015, pemerintah sempat pernah mengkaji pemindahan Ibu Kota. Andrinof Chaniago, saat menjabat Kepala Bappenas mengusulkan Pangkalan Bun dan Sampit di Kalimantan Tengah, atau Paser dan Penajem di Kalimantan Timur menjadi Ibu Kota Negara.
Namun hingga kini wacana tersebut belum kunjung terwujud. Kemudian tibalah babak baru wacana pemindahan Ibu Kota. Lantas, apakah Ibu Kota bakal berpindah? kita tunggu saja.
Jakarta: Wancana pemindahan Ibu Kota kembali bergema. Sayup-sayup wacana ini berembus dari Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 29 April 2019. Presiden Joko Widodo tak menginginkan Ibu Kota Negara berada di Pulau Jawa. Sebab, hampir 57 persen dari total penduduk Indonesia tinggal di Jawa.
Menurutnya, pemindahan Ibu Kota diyakini mempermudah pemerataan pembangunan di Indonesia.
Pemindahan Ibu Kota Negara memiliki tiga alternatif. Alternatif pertama, Ibu Kota tetap berada di Jakarta, tetapi dibuat distrik khusus pemerintahan di sekitar Istana Kepresidenan dan Monumen Nasional.
Baca: Pemindahan Ibu Kota Segera Dikonsultasikan ke DPR
Alternatif kedua dengan memindahkan pusat pemerintahan dekat dengan Jakarta, misalnya sekitar Jabodetabek. Sedangkan, alternatif ketiga memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa.
'Senayan' pun, menanggapi wacana ini. Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong pemerintah melakukan studi kelayakan Ibu Kota secara mendalam. Terutama dari sisi infrastruktur yang mendukung wilayah tersebut menjadi Ibu Kota.
Bamsoet juga mengingatkan bahwa pemindahan Ibu Kota memerlukan biaya yang tak sedikit. "Sehingga pemindahan Ibu Kota dapat terlaksana sesuai tahapan yang telah direncanakan," kata Bamsoet.
Sementara itu, Polri mendukung dan menyukseskan setiap kebijakan pemerintah. Polri pun bakal menyiapkan mekanisme pengamanan. "Tentunya Polri mendukung, karena ini demi kebaikan bangsa dari segala aspek,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 30 April 2019.
Ibu Kota Pernah Pindah
Riuh soal pemindahan Ibu Kota, sebanarnya Ibu Kota sudah pernah berpindah. Dihimpun dari berbagai sumber, faktor keselamatan dan kemanan pada Januari tahun 1946, memaksa Ibu Kota berpindah. Saat itu Ibu Kota berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Saat itu, Kraton Yogyakarta yang menanggung biaya operasional para pejabat RI selama berada di Yogyakarta.
Sebab, kas Negara RI saat itu sedang kosong. Jumlah yang dikeluarkan kas Kraton diperkirakan mencapai 6 juta gulden. Dengan modal itu, pemerintahan RI yang masih sangat belia bisa terus menjalankan roda pemerintahannya.
Istana Kepresidenan yang berlokasi di Gedung Agung yang ditinggalkan Jepang. Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman menyediakan berbagai perabotan dan peralatan secara lengkap, agar kegiatan pemerintahan bisa berjalan semestinya.
Selain itu, pihak Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman juga memberikan tempat penginapan kepada segenap jajaran pejabat tinggi dari Jakarta yang ikut hijrah ke Yogyakarta. Mereka ada yang tinggal di lingkungan Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, selain di rumah-rumah penduduk. Hal ini juga diikuti rakyat Yogyakarta dengan menyumbangkan tenaga, makanan dan harta benda.
Pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, dimana seluruh pemimpin Republik ditangkap Belanda dan diasingkan ke berbagai tempat. Sehingga pemerintah Republik terpaksa membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr. Sjafroedin Prawiranegara di Sumatra Barat.
Ibu Kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 dan kemudian ke Jakarta pada 17 Agustus 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mencuatnya Palangkaraya
Wacana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah kembali mencuat pada 1957. Palangkaraya yang merupakan kota dengan wilayah terluas di Indonesia. Luasnya mencapai 2.400 kilometer persegi.
Rencana tersebut belum kunjung terlaksana, hingga pada tahun 1965, Soekarno kembali menyebut rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Palangkaraya. Namun rencana tak kunjung terealisasi.
Orba Sempat Usulkan Jonggol
Pada Era Orde Baru (Orba) Presiden Soeharto juga sempat menggelontorkan wacana memindahkan Ibu Kota. Jonggol menjadi daerah yang sempat diproyeksikan. Soeharto menunjukkan keseriusannya melalui Keppres Nomor 1 Yahun 11997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Rencana Pemindahan Ibu Kota. Namun, rencana itu tak terwujud.
Sidrap Jadi Primadona
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, ide pemindahan Ibu Kota deras bergulir. Berbeda saat orde baru, kota Sidrap di Sulawesi Selatan menjadi primadona pengganti Jakarta.
Sidrap dianggap strategis dan letaknya berada di tengah-tengah Indonesia. Diharapkan pemerataan dapat terwujud jika Ibu Kota berada di tengah Indonesia. Hingga kepemimpinan Habibie, wacana itu tak terwujud.
SBY Ikut Rencanakan Pemindahan Ibu Kota
Di tahun 2010, wacana pemindahan Ibu Kota kembali terdengar. Bahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk sebuah tim khusus. Tim tersebut mengkaji pemindahan Ibu Kota.
Ada beberapa daerah yang memiliki pontensi menjadi pengganti Jakarta. Selain Palangkaraya, Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah. Namun, lagi-lagi wacana tersebut kembali tenggelam hingga akhir masa kepemimpinan SBY.
Era Pemerintahan Jokowi
Saat awal era pemerintahan Jokowi pada 2015, pemerintah sempat pernah mengkaji pemindahan Ibu Kota. Andrinof Chaniago, saat menjabat Kepala Bappenas mengusulkan Pangkalan Bun dan Sampit di Kalimantan Tengah, atau Paser dan Penajem di Kalimantan Timur menjadi Ibu Kota Negara.
Namun hingga kini wacana tersebut belum kunjung terwujud. Kemudian tibalah babak baru wacana pemindahan Ibu Kota. Lantas, apakah Ibu Kota bakal berpindah? kita tunggu saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)