medcom.id, Jakarta: Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas meminta pengawasan internal Mahkamah Konstitusi diperketat. Busyro menyarankan unsur masyarakat dilibatkan. Pasalnya, sudah dua hakim MK yang terjerat kasus suap, Aqil Mokhtar dan Patrialis Akbar.
"Harus melibatkan unsur publik. Tentang sistem aturan maupun pengawasan internal. Sudah dua kali bobol kan," kata Busyro di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (30/1/2017).
Manurutnya, pelibatan unsur publik dapat meningkatkan pengawasan dan kinerja hakim MK. Sebab, sistem kewenangan otonom sudah tak cocok diterapkan di MK. "Kualitas dan proses pengawasan internal MK sudah saatnya diubah," ujarnya.
Kendati demikian, Busyro enggan menanggapi kasus suap yang menjerat Hakim MK Patrialis Akbar. "Biar diproses KPK sesuai dengan fakta yang sudah ditemukan oleh KPK, gitu aja," tandasnya.
Sebelumnya, penyidik KPK menetapkan Patrialis sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait judicial review Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia ditangkap KPK pada 25 Januari 2017.
Selain Patrialis, KPK juga menangkap Kamaludin, Basuki Hariman (pengusaha impor daging), dan Ng Fenny (sekretaris Basuki). Patrialis dan Kamaludin berteman. Basuki diduga menyuap Patrialis melalui Kamaludin.
Tujuan suap agar MK mengabulkan judicial review UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis dijanjikan fee SGD200 ribu. Uang sudah diberikan secara bertahap sebanyak tiga kali.
KPK mengamankan sejumlah dokumen pembukuan perusahaan Basuki, voucher pembelian mata uang asing dan draft perkara bernomor 129/puu-xiii/2015.
Patrialis dan Kamaludin diduga sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan, Basuki dan Fenny diduga sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/9K57zxxb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas meminta pengawasan internal Mahkamah Konstitusi diperketat. Busyro menyarankan unsur masyarakat dilibatkan. Pasalnya, sudah dua hakim MK yang terjerat kasus suap, Aqil Mokhtar dan Patrialis Akbar.
"Harus melibatkan unsur publik. Tentang sistem aturan maupun pengawasan internal. Sudah dua kali bobol kan," kata Busyro di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (30/1/2017).
Manurutnya, pelibatan unsur publik dapat meningkatkan pengawasan dan kinerja hakim MK. Sebab, sistem kewenangan otonom sudah tak cocok diterapkan di MK. "Kualitas dan proses pengawasan internal MK sudah saatnya diubah," ujarnya.
Kendati demikian, Busyro enggan menanggapi kasus suap yang menjerat Hakim MK Patrialis Akbar. "Biar diproses KPK sesuai dengan fakta yang sudah ditemukan oleh KPK, gitu aja," tandasnya.
Sebelumnya, penyidik KPK menetapkan Patrialis sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait judicial review Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia ditangkap KPK pada 25 Januari 2017.
Selain Patrialis, KPK juga menangkap Kamaludin, Basuki Hariman (pengusaha impor daging), dan Ng Fenny (sekretaris Basuki). Patrialis dan Kamaludin berteman. Basuki diduga menyuap Patrialis melalui Kamaludin.
Tujuan suap agar MK mengabulkan judicial review UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis dijanjikan fee SGD200 ribu. Uang sudah diberikan secara bertahap sebanyak tiga kali.
KPK mengamankan sejumlah dokumen pembukuan perusahaan Basuki, voucher pembelian mata uang asing dan draft perkara bernomor 129/puu-xiii/2015.
Patrialis dan Kamaludin diduga sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan, Basuki dan Fenny diduga sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(FZN)