"Afirmasi masih dianggap beban oleh parpol dan sejumlah elite, nomor urut yang tidak strategis, pemilihan dapil yang tidak menguntungkan, dan penguatan kapasitas yang tidak optimal," ujar anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi daring, Jumat, 22 April 2022.
Afirmasi keterwakilan perempuan terlihat dari pengisian posisi kepala daerah oleh penjabat perempuan yang dinilai tidak ada skemanya. "Terdapat isu krusial yaitu pengisian posisi kepala daerah oleh penjabat sebagai konsekuensi tidak diselenggarakannya Pilkada 2022 dan 2023 di 271 daerah. Tidak ada skema afirmasi untuk penjabat perempuan. Misalnya dari 271 daerah itu apakah ada afirmasi akan didorong dan menjadi komitmen Presiden Jokowi agar diisi oleh penjabat kepala daerah perempuan, itu tidak tersedia mekanismenya," ungkap Titi.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Baca: Menteri PPPA Dorong Kesetaraan Gender di Militer
Kebijakan afirmasi untuk mendorong keterwakilan perempuan pun masih stagnan, yaitu terbatas pada penempatan perempuan di daftar caleg paling sedikit 30 persen dengan skema pencalonan semi zipper. Yaitu, setiap 3 caleg memuat paling sedikit 1 orang perempuan caleg.
"Jadi untuk pemilu presiden, pemilu DPD dan DPR, dan pilkada, figur perempuan akan muncul tanpa ada tindakan khusus yang bisa mendorong kehadiran mereka secara lebih mudah untuk mengejar ketertinggalan. Demokrasi tanpa keterwakilan perempuan adalah demokrasi yang defisit, demokrasi yang tanpa makna," kata dia.
Titi merekomendasikan agar modalitas dan loyalitas pemilih perempuan disinergikan partai politik dan penyelenggara pemilu dengan akses informasi dan pengetahuan. Sehingga, pemilih perempuan menjadi pemilih yang berdaya dan berdaulat. Begitu juga dengan perempuan partai, perlu menyusun data based anggota, data based berbasis suara, dan peta dapil untuk mendukung pencalonan perempuan secara terencana.
"Mendorong komitmen pimpinan parpol untuk mewujudkan penempatan perempuan pada nomor urut satu di paling sedikit 30 persen dapil. Serta gerakan perempuan penting mengawal seleksi penyelenggara pemilu di daerah," tutur Titi.