medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo soal demokrasi kebablasan. Dia bilang, terminologi kebablasan menjadi bias karena dua kata itu tidak bisa disandingkan menjadi satu kalimat bermakna.
"Terminologi demokrasi kebablasan itu tidak dikenal. Itu yang disebut dengan contradictio in terminis, jadi dua kata itu tidak bisa disandingkan. Karena yang bisa kebablasan itu adalah sisi dari mata uang demokrasi itu, yaitu kebebasan atau hukum," kata Fahri di Gedung DPR Jakarta, Kamis 23 Februari 2017.
Kebablasan yang ada adalah kebebasan atau hukum, bukan demokrasi. Sehingga menurutnya, kejadian yang ada seperti saat ini adalah kebebasan yang kebablasan atau pengaturan yang berlebihan.
"Itulah sebenarnya dua sisi dari demokrasi kebebasan dan hukum harus berjalan seimbang. Nah demokrasinya tidak bisa kebablasan, yang kebablasan itu salah satunya kebebasannya atau hukumnya," papar Fahri.
Politikus PKS itu memandang kebebasan yang menimbulkan anarki, jauh lebih baik dibanding otoritarianisme. Karena kebebasan yang anarkis sekali pun dapat dikoreksi. Sedangkan apabila otoritarianisme yang terjadi di mana negara mengangkangi kebebasan, justru disebutnya berbahaya.
Maka itu, tugas negara adalah menegakan hukum dan menegakan keadilan. Karena dengan begitu akan tercipta kebebasan bertanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab nantinya akan melahirkan politik yang dewasa.
"Pidato presiden itu keliru, yang membuat pidatonya itu perlu memahami dalam konsep-konsep dasar demokrasi. Demokrasi itu jangan disalahkan. Kita raih demokrasi berdarah-darah terus bilang demokrasi kita kebablasan, salah itu," tegasnya.
Sebaiknya, kata Fahri, Jokowi harus mengoreksi diri untuk menegakan hukum yang berkeadilan. Sebab sampai saat ini, kata dia, masih banyak terjadi hukum yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung soal demokrasi kebablasan yang terjadi di Indonesia saat ini. Sebab banyak orang yang sudah saling menhujat dan memfitnah sesama saudara sebangsanya.
"Banyak yang bertanya kepada saya, apakah demokrasi kita terlalu bebas, kebablasan. Demokrasi kita sudah terlalu kebablasan," kata Jokowi.
Fitnah, saling hujat dan kabar bohong bisa menjurus pada perpecahan. Namun orang nomor satu di Indonesia ini meyakini bahwa persoalan bangsa akan dapat dilalui.
"Kita yakin ini ujian. Akan kita lalui baik, akan menjadikan kita dewasa, matang, tahan uji bukan melemahkan," kata Jokowi.
medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo soal demokrasi kebablasan. Dia bilang, terminologi kebablasan menjadi bias karena dua kata itu tidak bisa disandingkan menjadi satu kalimat bermakna.
"Terminologi demokrasi kebablasan itu tidak dikenal. Itu yang disebut dengan contradictio in terminis, jadi dua kata itu tidak bisa disandingkan. Karena yang bisa kebablasan itu adalah sisi dari mata uang demokrasi itu, yaitu kebebasan atau hukum," kata Fahri di Gedung DPR Jakarta, Kamis 23 Februari 2017.
Kebablasan yang ada adalah kebebasan atau hukum, bukan demokrasi. Sehingga menurutnya, kejadian yang ada seperti saat ini adalah kebebasan yang kebablasan atau pengaturan yang berlebihan.
"Itulah sebenarnya dua sisi dari demokrasi kebebasan dan hukum harus berjalan seimbang. Nah demokrasinya tidak bisa kebablasan, yang kebablasan itu salah satunya kebebasannya atau hukumnya," papar Fahri.
Politikus PKS itu memandang kebebasan yang menimbulkan anarki, jauh lebih baik dibanding otoritarianisme. Karena kebebasan yang anarkis sekali pun dapat dikoreksi. Sedangkan apabila otoritarianisme yang terjadi di mana negara mengangkangi kebebasan, justru disebutnya berbahaya.
Maka itu, tugas negara adalah menegakan hukum dan menegakan keadilan. Karena dengan begitu akan tercipta kebebasan bertanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab nantinya akan melahirkan politik yang dewasa.
"Pidato presiden itu keliru, yang membuat pidatonya itu perlu memahami dalam konsep-konsep dasar demokrasi. Demokrasi itu jangan disalahkan. Kita raih demokrasi berdarah-darah terus bilang demokrasi kita kebablasan, salah itu," tegasnya.
Sebaiknya, kata Fahri, Jokowi harus mengoreksi diri untuk menegakan hukum yang berkeadilan. Sebab sampai saat ini, kata dia, masih banyak terjadi hukum yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung soal demokrasi kebablasan yang terjadi di Indonesia saat ini. Sebab banyak orang yang sudah saling menhujat dan memfitnah sesama saudara sebangsanya.
"Banyak yang bertanya kepada saya, apakah demokrasi kita terlalu bebas, kebablasan. Demokrasi kita sudah terlalu kebablasan," kata Jokowi.
Fitnah, saling hujat dan kabar bohong bisa menjurus pada perpecahan. Namun orang nomor satu di Indonesia ini meyakini bahwa persoalan bangsa akan dapat dilalui.
"Kita yakin ini ujian. Akan kita lalui baik, akan menjadikan kita dewasa, matang, tahan uji bukan melemahkan," kata Jokowi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)