medcom.id, Jakarta: Sebagian besar lahan gambut yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia mengalami kerusakan. Celakanya, lahan-lahan gambut terbanyak yang ada di Riau, Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Papua tidak akan bisa direhabilitasi jika sudah terbakar.
"Kriteria gambut rusak itu kalau sudah terbakar, tidak bisa direhabilitasi. Kalau sudah dibakar tentu jadi tanah humus. Artinya, gambut itu hilang dari Indonesia," ujar Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Haris Gunawan, di Jakarta, Selasa (28/10/2014).
Haris Gunawan menyebutkan bencana kebakaran hutan dan lahan gambut ini sebagai musibah pasir semu. Sebab, hasil dari kebakaran hanya menyisakan lahan kosong berabu mirip padang pasir.
Meski begitu, Haris mengakui masih ada harapan baru akan pemulihan bencana asap di Riau dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden. Menurutnya, Presiden Jokowi pasti mengerti persoalan yang menimpa hutan dan lahan gambut di Riau. Sebab semasa di bangku kuliah dulu Jokowi punya latar belakang kehutanan dan ilmu yang mengerti bagaimana indikasi sebuah ekosistem itu rusak.
"Apa itu hutan gambut terbakar? Saya kira Pak Jokowi pasti mengerti. Semasa kuliah dulu beliau membekali ilmu itu. Kalau hutan gambut terbakar, Jokowi harus turun karena dia new hope kami," kata Haris.
Saat ini, upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut adalah pemulihan lahan serta komponen air dan hutan harus dikembalikan dengan menghentikan konsesi dan ekploitasi hutan maupun lahan yang disinyalir tidak pernah membawa manfaat.
Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting menambahkan, tidak ada cara yang lebih tepat untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut di Indonesia selain dengan memeliharanya. Disamping peran legislasi dan hukum juga mutlak diperlukan untuk mengembalikan paru-paru beberapa provinsi dari Sabang hingga Merauke.
"Tidak ada cara yang lebih tepat selain memelihara lahan gambut. Gambut akan tetap terbakar jika penanganan atau pembudidayaannya tidak tepat, karena itu mau tidak mau, tidak ada kompromi selain merawatnya," kata Longgena.
medcom.id, Jakarta: Sebagian besar lahan gambut yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia mengalami kerusakan. Celakanya, lahan-lahan gambut terbanyak yang ada di Riau, Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Papua tidak akan bisa direhabilitasi jika sudah terbakar.
"Kriteria gambut rusak itu kalau sudah terbakar, tidak bisa direhabilitasi. Kalau sudah dibakar tentu jadi tanah humus. Artinya, gambut itu hilang dari Indonesia," ujar Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Haris Gunawan, di Jakarta, Selasa (28/10/2014).
Haris Gunawan menyebutkan bencana kebakaran hutan dan lahan gambut ini sebagai musibah pasir semu. Sebab, hasil dari kebakaran hanya menyisakan lahan kosong berabu mirip padang pasir.
Meski begitu, Haris mengakui masih ada harapan baru akan pemulihan bencana asap di Riau dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden. Menurutnya, Presiden Jokowi pasti mengerti persoalan yang menimpa hutan dan lahan gambut di Riau. Sebab semasa di bangku kuliah dulu Jokowi punya latar belakang kehutanan dan ilmu yang mengerti bagaimana indikasi sebuah ekosistem itu rusak.
"Apa itu hutan gambut terbakar? Saya kira Pak Jokowi pasti mengerti. Semasa kuliah dulu beliau membekali ilmu itu. Kalau hutan gambut terbakar, Jokowi harus turun karena dia
new hope kami," kata Haris.
Saat ini, upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut adalah pemulihan lahan serta komponen air dan hutan harus dikembalikan dengan menghentikan konsesi dan ekploitasi hutan maupun lahan yang disinyalir tidak pernah membawa manfaat.
Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting menambahkan, tidak ada cara yang lebih tepat untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut di Indonesia selain dengan memeliharanya. Disamping peran legislasi dan hukum juga mutlak diperlukan untuk mengembalikan paru-paru beberapa provinsi dari Sabang hingga Merauke.
"Tidak ada cara yang lebih tepat selain memelihara lahan gambut. Gambut akan tetap terbakar jika penanganan atau pembudidayaannya tidak tepat, karena itu mau tidak mau, tidak ada kompromi selain merawatnya," kata Longgena.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LAL)