Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Gubernur Sandiaga Uno (kanan), dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi (kiri) saat Rapat Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (15/11)/ANTARA/Aprillio Akbar.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Gubernur Sandiaga Uno (kanan), dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi (kiri) saat Rapat Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (15/11)/ANTARA/Aprillio Akbar.

FOKUS

Melawan Bancakan Anggaran

Sobih AW Adnan • 24 November 2017 22:56
Jakarta: Sejatinya, tak ada yang salah dengan istilah "bancakan". Kata yang diserap dari tradisi Jawa ini, biasa dipakai untuk pesta kecil bertema syukuran.
 
Semacam kenduri. Hanya saja, "bancakan" lazim digelar untuk menyambut kelahiran si buah hati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), malah diterjemahkan sebagai perayaan ulang tahun atau peringatan hari kelahiran.
 
Beda soal kalau dikaitkan dengan hitung-hitungan anggaran pemerintah. Peyorasi yang tampak, membuat posisi kata tersebut anjlok.

"Bancakan" disasarkan untuk menyebut salah satu akrobat para politisi di panggung kekuasaan. Terutama, ihwal bagi-bagi dana dalam rangka balas jasa.
 
Indikasinya, gampang dibaca. Anggaran menggelembung dari rengrengan periode sebelumnya, juga lahirnya pos-pos baru yang tak sedikit orang menganggapnya tidak masuk akal dan kurang perlu.
 
Dan amat disayangkan, jika desas-desus soal ini disasarkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tepatnya, seiring rumor adanya pembengkakan anggaran belanja di tahun depan.
 
Inefisien
 
Tak terlalu salah jika jumlah duit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2018 itu membuat gamang. Sebab, Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan DPRD meninggikan angkanya menjadi Rp76,56 triliun dari sebelumnya (APBD) sebesar Rp70,18 triliun.
 
Selisihnya memang tidak besar. Tapi, bila dilihat secara pos per pos, pantas geger. Ambil misal, pos anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), dari jatah biasanya cuma Rp2,36 miliar dilambungkan menjadi Rp28,99 miliar.
 
Sekretariat DPRD DKI Jakarta juga merancang keperluan dana sebanyak Rp346,51 miliar untuk kegiatan anggota dewan selama 2018. Dilansir dari apbd.jakarta.go.id, uang sebanyak itu rencananya bakal digunakan untuk sejumlah kegiatan dewan, salah satunya kunjungan kerja yang mencaplok angka sebesar Rp106,79 miliar.
 
Yang dianggap publik kurang perlu, contohnya ketika dalam RAPBD itu tercantum alokasi Rp620 juta untuk merehabilitasi kolam air mancur di depan Gedung DPRD DKI Jakarta.
 
Sekretariat DPRD juga menghitung angka sebesar Rp542,8 juta untuk pemeliharaan kendaraan operasional, dan Rp571 juta untuk pengelolaan website.
 
Belum lagi, ada pos di luar gaji anggota dewan berupa anggaran Penunjang Kehadiran Rapat Bagi Pimpinan dan Anggota DPRD sebesar Rp16 miliar.
 
Pemprov DKI, tentu tak tinggal diam. Sang Wakil Gubernur Sandiaga Salahudin Uno membantah bahwa hitung-hitungan itu serta merta lahir di eranya. Dengan memelihara istilah "rezim", dia merasa Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat turut andil peran kala masih dinas di Balai kota.
 
Malahan, aku Sandi, dia sedang menyisir pos per pos. Sayangnya, ia tak memberi keterangan lebih mengenai besaran yang diinput Ahok-Djarot agar bisa dibandingkan lebih jauh lagi.
 
"Tenang uang rakyat kita gunakan untuk pembangunan. Pokoknya kita gunakan yang tebaik," janji Sandi saat ditemui wartawan di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat 24 November 2017.
 
Mestinya, Anies maupun Sandi juga paham, baik tidaknya penggunaan itu, justru terwakili dengan jumlah dan pos RAPBD yang belakangan amat diperbincangkan.
 
Baca: Anggaran Fantastis Gubernur Anies
 
Politis-Korporatis
 
Ada dua golongan besar yang membedakan aktivitas politik dalam keuangan pemerintah dan negara, ialah otokrasi dan demokrasi.
 
Didik J Rachbini dalam Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik (2006) menyebut, dalam sistem otokrasi, aktivitas politik memang minim. Meskipun, sudah barang tentu pola tersebut akan membuka peluang kebobrokan yang lebih kaya dan beragam.
 
Sebaliknya, dalam sistem demokrasi yang berakar pada aspirasi rakyat, aktivitas politik dalam kebijakan keuangan akan menemui frekuensi yang tinggi. Namun, sekali saja salah niat, hubungan kekuasaan politik dan rakyat justru terpenggal kepentingan korporatis.
 
Didik menuliskan, pola hubungan jenis ini memiliki banyak ciri. Pertama, sumber-sumber ekonomi cenderung dinikmati segelintir pelaku yang dekat dengan kekuasaan. Kedua, kepentingan ekonomi dan politik menyatu di dalam format kolusi. Ketiga, kekuasaan menjadi medium yang subur bagi redistributive combine di antara segelintir orang.
 
"Berikutnya, perburuan rente sangat subur dalam situasi politik dan ekonomi tertutup," tulis Didik.
 
Anies dan Sandi, haris bisa menggugurkan kecurigaan banyak pihak atas kuatnya indikasi aktivitas politik dalam penyusunan RAPBD DKI. Apalagi, ketika dikaitkan dengan deretan penerima aliran dana hibah yang turut membengkak.
 
Pemprov DKI juga harus memberi kejelasan dengan rencana program yang tak sungkan disebut sebagai titipan seseorang. Sebut saja, program peningkatan gizi anak bernama Revolusi Putih yang diusulkan tokoh yang dianggap paling berjasa dalam pemenangan pilkada silam.
 
Melawan Bancakan Anggaran
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kiri), Presiden PKS Sohibul Iman (kedua kanan), Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan), Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie (tengah) dan calon Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno (kiri) memberikan keterangan pers menanggapi hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua di Jakarta, Rabu (19/4)/ANTARA FOTO/Dedi Wijaya.
 
Tidak cuma itu. Faktor kelahiran anggaran jumbo ini sebenarnya terpusat pada "pengembang-biakan" jumlah personel TGUPP dari sebelumnya 15 orang menjadi 73 orang. Padahal, dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 411 Tahun 2016 disebutkan, anggota tim yang digaji dari pajak rakyat itu tak boleh lebih dari 15 orang.
 
Anies-Sandi, perlu melempar bantahan kuat bahwa penambahan angka itu memang dibutuhkan, bukan sekadar dalam rangka bagi-bagi jabatan sebagaimana banyak dituduhkan.
 
Terakhir, tak kalah perlu, Anies-Sandi juga harus memperjuangkan 23 janji kampanyenya termaktub dalam RAPBD. Bukan malah memangkas fungsi KJP dan subsidi daging yang biasa diterima masyarakat.
 
Alhasil, Anies-Sandi punya peluang meyakinkan ke warga Ibu Kota, bahwa sebenarnya, mereka berdua akan selalu berdiri di depan; melawan bancakan anggaran.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan