Jakarta: Presiden Joko Widodo enggan terjebak dalam dikotomi menteri berlatar belakang profesional dan menteri asal partai politik (parpol). Dia hanya mematok bawahannya harus menjadi eksekutor andal.
"Yang ingin saya menggarisbawahi, baik profesional atau partai tidak usah kita beda-bedakan," kata Jokowi dalam program Opsi, Metro TV, Senin, 19 Agustus 2019.
Bagi Kepala Negara, menteri dari profesional maupun parpol sama saja. Dia hanya mengidamkan sosok menteri dengan pengalaman manajerial yang kuat sehingga program pemerintah bisa berjalan dengan baik.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengungkapkan kemampuan manajemen memang wajib dimiliki pejabat sekaliber menteri. Pasalnya, mereka harus mengelola kementerian yang terdiri dari beragam orang dengan segala sumber dayanya.
Jokowi pun ingin tata kelola kementerian di periode 2019-2024 semakin apik di tangan bawahannya. Dari sana, program pembangunan yang sudah dicanangkan Jokowi bisa mendapatkan hasil yang diharapkan.
"(Menteri harus paham) bagaimana menata sebuah program, bagaimana organisasinya, kemudian melaksanakan di lapangan, dan tentu bisa mengawasi. Bagaimana mengawasi dengan sistem apa, platform apa," tekan Jokowi.
Upaya Jokowi untuk menghindari dikotomi menteri profesional dan parpol sejatinya sudah dilakukan sejak awal menjabat di 2014. Saat pengenalan Kabinet Kerja, Jokowi menyebut menteri asal partai sebagai profesional.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly asal PDI Perjuangan contohnya. Jokowi menyebut eks Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatra Utara, itu sebagai politikus profesional.
"Yang berpengalaman di perlindungan hukum," Jokowi di Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu, 26 Oktober 2014.
Kala itu, menteri-menteri lain juga Jokowi kenalkan sebagai politikus profesional. Mereka di antaranya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi asal Golkar dan Menteri Perindustrian Saleh Husin dari Hanura.
Di sisi lain, politikus berlatar belakang profesional di beragam bidang diprediksi bakal dipilih Jokowi di periode 2019-2024. Menjadikan politikus sebagai menteri memang dianggap sebagai fenomena yang biasa.
"Kita tak bisa memungkiri kepentingan parpol tetap harus diakomodasi selama dalam batas wajar. Karena kita tahu partai yang sudah berjuang dan bertarung memenangkan Jokowi," kata pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pangi Syarwi Chaniago kepada Medcom.id, Rabu, 21 Agustus 2019.
Baca: Lima Politikus Muda Paling Berpeluang Gabung Kabinet
Namun begitu, Presiden didorong tetap memilih orang yang memiliki kompetensi untuk duduk di kabinet, terlepas dari kalangan profesional maupun parpol. "Itu semua tergantung kepada strong leadership-nya," jelas dia.
Medcom.id pun merangkum sejumlah politikus yang santer dikabarkan menduduki kursi menteri. Mereka memiliki karier mentereng hingga kemungkinan bisa hijrah dari berkantor Kompleks Parlemen, Senayan, menjadi pembantu Jokowi di Istana Kepresidenan.
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Wira Yudha. Foto: MI/Atet Dwi.
1. Satya Widya Yudha
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Wira Yudha disebut-sebut menjadi salah satu nama calon menteri yang diajukan ke Jokowi. Meski kini berada di Komisi I yang membahas bidang pertahanan, Satya punya banyak bekal di bidang energi dan sumber daya mineral.
Politikus Partai Golkar itu sempat menduduki kursi wakil ketua Komisi VII DPR yang fokus pada energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup. Dalam kariernya, dia memang banyak memakan asam garam di dunia perminyakan.
Jebolan teknik kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur, itu sempat bekerja di BP Plc, perusahaan minyak dan gas asal Inggris. Dia menduduki kursi vice president business integration BP Indonesia pada 2007-2008.
Dalam bidang organisasi, Satya sudah aktif di Partai Golkar sejak 90-an. Di ‘Partai Beringin’, dia fokus membidangi urusan yang bersentuhan dengan energi. Pada 2012-2015, dia juga masuk menjadi anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Pada 2016, Satya sempat didorong menjadi menteri energi dan sumber saya (ESDM) yang kosong setelah Arcandra Tahar tersandung masalah kewarganegaraan. Namun, kursi itu akhirnya jatuh ke tangan eks Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dengan Arcandra sebagai wakilnya.
Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu. Foto: MI/Arya Manggala.
2. Adian Napitupulu
Presiden Joko Widodo sempat menyebut aktivis 98 sejatinya punya potensi untuk menjadi tokoh kelas nasional, bahkan menteri. Jokowi mengungkapkan hal itu karena belum melihat para pejuang reformasi ini menjadi menteri.
Hal ini dia singgung dalam halalbihalal bersama aktivis 98, Minggu, 16 Juni 2019. Para undangan yang hadir kala itu menyerukan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Adian Yunus Yusak Napitupulu kepada Jokowi agar masuk Kabinet Kerja.
Namun, Jokowi masih irit bicara atas dukungan para aktivis kepada putra pasangan Ishak Parluhutan Napitupulu dan Soeparti Esther itu. "Saya tidak ingin menyebut nama dulu, tapi banyak yang mendukung Adian, Bung Adian," jelas dia.
Spekulasi Adian menjadi menteri kembali berembus ketika dia dipanggil ke Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu. Namun, Adian enggan menjabarkan lebih jauh soal pertemuannya dengan Kepala Negara yang sedang mencari calon menteri.
Lulusan ilmu hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini memang punya segudang pengalaman organisasi. Selama di kampus, dia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia hingga Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UKI.
Dia mendirikan Kelompok Diskusi Prodeo pada 1994 dan Forum Kota (Forkot), yang menjadi wadah mahasiswa Jakarta dan sekitarnya, pada 1998. Forkot menjadi salah satu organisasi yang pertama menduduki Gedung MPR/DPR pada Mei 1998.
Pada 2007, didapuk menjadi sekretaris jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis (Pena) 98. Adian sempat menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan pada 2009, tetapi tak lolos ke Senayan. Dia baru menjadi wakil rakyat pada 2014.
Ketua DPP PKB Ida Fauziyah (tengah). Foto: MI/Panca Syurkani.
3. Ida Fauziyah
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengakui Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB Ida Fauziyah potensial masuk kabinet. Perempuan yang sempat dimajukan di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2018 itu dianggap kaya pengalaman.
"Ida sangat punya peluang," kata Cak Imin sapaan Muhaimin, di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019.
Ida sudah berkarier di Kompleks Parlemen sejak 1999, di usianya yang kala itu masih 29 tahun. Pada 2009-2012, dia menduduki kursi wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) dan wakil ketua Komisi II yang memegang isu otonomi daerah dan pertanahan.
Dia kemudian didapuk sebagai ketua Komisi VII yang membidangi agama, perempuan, dan sosial pada 2012-2014. Kini, alumnus Universitas Satyagama itu bertugas di Badan Anggaran dan Komisi I.
Sebelum terjun ke dunia politik, dia menjadi guru di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jombang, Jawa Timur, dari 1994 hingga 1999. Dia juga mengajar di SMU Khadijah, Surabaya, Jawa Timur, pada 1997-1999.
Selain itu, Ida juga aktif di organisasi Muslimat Nahdlatul Ulama. Kini, dia masih menjabat sebagai ketua umum Jaringan Perempuan Nahdlatul Ulama (JPNU).
PKB memasangkan Ida dengan politikus Partai Gerindra Sudirman Said pada pilgub Jawa Tengah. Namun, keduanya kalah dari pasangan petahana Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen.
Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali. Foto: MI/Immanuel Antonius.
4. Zainuddin Amali
Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali juga disebut masuk menjadi salah satu nama calon menteri yang disetor ke Presiden Jokowi. Hal itu diamini Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono.
"Beliau salah satu yang didorong oleh partai. Namun semua terserah Pak Presiden," kata Agung, Selasa, 23 Juli 2019.
Zainuddin sedianya juga masuk bursa calon ketua MPR dari Golkar. Namun, Agung menilai Zainuddin lebih cakap bila dimajukan sebagai calon menteri.
Pria kelahiran Gorontalo, 16 Maret 1962, sudah aktif berorganisasi sejak menjadi mahasiswa. Ia menjadi ketua Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Lembaga Pers Mahasiswa Islam pada 1986-1987, ketua Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Swadaya 1988-1990, dan ketua umum DPP Gema Kosgoro.
Dalam kariernya di politik, pengusaha itu sudah tiga kali menjadi anggota DPR. Di 2004-2009 dia mewakili daerah pemilihan (dapil) Gorontalo, 2009-2014 dari Jawa Timur, dan 2014-2019 dari dapil Madura.
Jakarta: Presiden Joko Widodo enggan terjebak dalam dikotomi menteri berlatar belakang profesional dan menteri asal partai politik (parpol). Dia hanya mematok bawahannya harus menjadi eksekutor andal.
"Yang ingin saya menggarisbawahi, baik profesional atau partai tidak usah kita beda-bedakan," kata Jokowi dalam program Opsi, Metro TV, Senin, 19 Agustus 2019.
Bagi Kepala Negara, menteri dari profesional maupun parpol sama saja. Dia hanya mengidamkan sosok menteri dengan pengalaman manajerial yang kuat sehingga program pemerintah bisa berjalan dengan baik.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengungkapkan kemampuan manajemen memang wajib dimiliki pejabat sekaliber menteri. Pasalnya, mereka harus mengelola kementerian yang terdiri dari beragam orang dengan segala sumber dayanya.
Jokowi pun ingin tata kelola kementerian di periode 2019-2024 semakin apik di tangan bawahannya. Dari sana, program pembangunan yang sudah dicanangkan Jokowi bisa mendapatkan hasil yang diharapkan.
"(Menteri harus paham) bagaimana menata sebuah program, bagaimana organisasinya, kemudian melaksanakan di lapangan, dan tentu bisa mengawasi. Bagaimana mengawasi dengan sistem apa, platform apa," tekan Jokowi.
Upaya Jokowi untuk menghindari dikotomi menteri profesional dan parpol sejatinya sudah dilakukan sejak awal menjabat di 2014. Saat pengenalan Kabinet Kerja, Jokowi menyebut menteri asal partai sebagai profesional.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly asal PDI Perjuangan contohnya. Jokowi menyebut eks Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatra Utara, itu sebagai politikus profesional.
"Yang berpengalaman di perlindungan hukum," Jokowi di Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu, 26 Oktober 2014.
Kala itu, menteri-menteri lain juga Jokowi kenalkan sebagai politikus profesional. Mereka di antaranya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi asal Golkar dan Menteri Perindustrian Saleh Husin dari Hanura.
Di sisi lain, politikus berlatar belakang profesional di beragam bidang diprediksi bakal dipilih Jokowi di periode 2019-2024. Menjadikan politikus sebagai menteri memang dianggap sebagai fenomena yang biasa.
"Kita tak bisa memungkiri kepentingan parpol tetap harus diakomodasi selama dalam batas wajar. Karena kita tahu partai yang sudah berjuang dan bertarung memenangkan Jokowi," kata pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pangi Syarwi Chaniago kepada
Medcom.id, Rabu, 21 Agustus 2019.
Baca: Lima Politikus Muda Paling Berpeluang Gabung Kabinet
Namun begitu, Presiden didorong tetap memilih orang yang memiliki kompetensi untuk duduk di kabinet, terlepas dari kalangan profesional maupun parpol. "Itu semua tergantung kepada
strong leadership-nya," jelas dia.
Medcom.id pun merangkum sejumlah politikus yang santer dikabarkan menduduki kursi menteri. Mereka memiliki karier mentereng hingga kemungkinan bisa hijrah dari berkantor Kompleks Parlemen, Senayan, menjadi pembantu Jokowi di Istana Kepresidenan.
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Wira Yudha. Foto: MI/Atet Dwi.
1. Satya Widya Yudha
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Wira Yudha disebut-sebut menjadi salah satu nama calon menteri yang diajukan ke Jokowi. Meski kini berada di Komisi I yang membahas bidang pertahanan, Satya punya banyak bekal di bidang energi dan sumber daya mineral.
Politikus Partai Golkar itu sempat menduduki kursi wakil ketua Komisi VII DPR yang fokus pada energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup. Dalam kariernya, dia memang banyak memakan asam garam di dunia perminyakan.
Jebolan teknik kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur, itu sempat bekerja di BP Plc, perusahaan minyak dan gas asal Inggris. Dia menduduki kursi
vice president business integration BP Indonesia pada 2007-2008.
Dalam bidang organisasi, Satya sudah aktif di Partai Golkar sejak 90-an. Di ‘Partai Beringin’, dia fokus membidangi urusan yang bersentuhan dengan energi. Pada 2012-2015, dia juga masuk menjadi anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Pada 2016, Satya sempat didorong menjadi menteri energi dan sumber saya (ESDM) yang kosong setelah Arcandra Tahar tersandung masalah kewarganegaraan. Namun, kursi itu akhirnya jatuh ke tangan eks Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dengan Arcandra sebagai wakilnya.
Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu. Foto: MI/Arya Manggala.
2. Adian Napitupulu
Presiden Joko Widodo sempat menyebut aktivis 98 sejatinya punya potensi untuk menjadi tokoh kelas nasional, bahkan menteri. Jokowi mengungkapkan hal itu karena belum melihat para pejuang reformasi ini menjadi menteri.
Hal ini dia singgung dalam halalbihalal bersama aktivis 98, Minggu, 16 Juni 2019. Para undangan yang hadir kala itu menyerukan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Adian Yunus Yusak Napitupulu kepada Jokowi agar masuk Kabinet Kerja.
Namun, Jokowi masih irit bicara atas dukungan para aktivis kepada putra pasangan Ishak Parluhutan Napitupulu dan Soeparti Esther itu. "Saya tidak ingin menyebut nama dulu, tapi banyak yang mendukung Adian, Bung Adian," jelas dia.
Spekulasi Adian menjadi menteri kembali berembus ketika dia dipanggil ke Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu. Namun, Adian enggan menjabarkan lebih jauh soal pertemuannya dengan Kepala Negara yang sedang mencari calon menteri.
Lulusan ilmu hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini memang punya segudang pengalaman organisasi. Selama di kampus, dia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia hingga Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UKI.
Dia mendirikan Kelompok Diskusi Prodeo pada 1994 dan Forum Kota (Forkot), yang menjadi wadah mahasiswa Jakarta dan sekitarnya, pada 1998. Forkot menjadi salah satu organisasi yang pertama menduduki Gedung MPR/DPR pada Mei 1998.
Pada 2007, didapuk menjadi sekretaris jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis (Pena) 98. Adian sempat menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan pada 2009, tetapi tak lolos ke Senayan. Dia baru menjadi wakil rakyat pada 2014.
Ketua DPP PKB Ida Fauziyah (tengah). Foto: MI/Panca Syurkani.
3. Ida Fauziyah
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengakui Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB Ida Fauziyah potensial masuk kabinet. Perempuan yang sempat dimajukan di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2018 itu dianggap kaya pengalaman.
"Ida sangat punya peluang," kata Cak Imin sapaan Muhaimin, di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019.
Ida sudah berkarier di Kompleks Parlemen sejak 1999, di usianya yang kala itu masih 29 tahun. Pada 2009-2012, dia menduduki kursi wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) dan wakil ketua Komisi II yang memegang isu otonomi daerah dan pertanahan.
Dia kemudian didapuk sebagai ketua Komisi VII yang membidangi agama, perempuan, dan sosial pada 2012-2014. Kini, alumnus Universitas Satyagama itu bertugas di Badan Anggaran dan Komisi I.
Sebelum terjun ke dunia politik, dia menjadi guru di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jombang, Jawa Timur, dari 1994 hingga 1999. Dia juga mengajar di SMU Khadijah, Surabaya, Jawa Timur, pada 1997-1999.
Selain itu, Ida juga aktif di organisasi Muslimat Nahdlatul Ulama. Kini, dia masih menjabat sebagai ketua umum Jaringan Perempuan Nahdlatul Ulama (JPNU).
PKB memasangkan Ida dengan politikus Partai Gerindra Sudirman Said pada pilgub Jawa Tengah. Namun, keduanya kalah dari pasangan petahana Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen.
Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali. Foto: MI/Immanuel Antonius.
4. Zainuddin Amali
Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali juga disebut masuk menjadi salah satu nama calon menteri yang disetor ke Presiden Jokowi. Hal itu diamini Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono.
"Beliau salah satu yang didorong oleh partai. Namun semua terserah Pak Presiden," kata Agung, Selasa, 23 Juli 2019.
Zainuddin sedianya juga masuk bursa calon ketua MPR dari Golkar. Namun, Agung menilai Zainuddin lebih cakap bila dimajukan sebagai calon menteri.
Pria kelahiran Gorontalo, 16 Maret 1962, sudah aktif berorganisasi sejak menjadi mahasiswa. Ia menjadi ketua Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Lembaga Pers Mahasiswa Islam pada 1986-1987, ketua Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Swadaya 1988-1990, dan ketua umum DPP Gema Kosgoro.
Dalam kariernya di politik, pengusaha itu sudah tiga kali menjadi anggota DPR. Di 2004-2009 dia mewakili daerah pemilihan (dapil) Gorontalo, 2009-2014 dari Jawa Timur, dan 2014-2019 dari dapil Madura.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)