medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Muchtar menilai terdapat serangkaian yang salah, sejak awal terkait pelantikan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 oleh Mahkamah Agung (MA). Zainal mengibaratkanya bak barang haram.
"Saya membayangkan jika pakai logika barang haram masuk ke dalam produk, lalu tiba-tiba berubah menjadi halal, hanya karena mendapatkan sertikasi halal, itu menjadi rusak esensinya. Karena sertifikasi ini tujuannya menjaga agar pas dan benar," kata Zainal dalam Program Editorial MI Metro TV, Rabu 5 April 2017.
Zainal menjelaskan pertama, putusan MA terkait masa jabatan pimpinan DPD kembali menjadi lima tahun seharusnya dapat langsung dieksekusi. Dan sebaliknya, tata tertib yang menyatakan periode pimpinan DPD 2,5 tahun, seharusnya tidak berlaku.
"Kedua, proses yang namanya paripurna, proses yang namanya sidang, itu punya mekanisme. Harus dipimpin oleh pimpinan DPD. Dan menurut putusan MA, pimpinan DPD yang lama," ujar dia.
Ketiga, lanjut Zainal, proses paripurna baik mengubah tata tertib dan menggelar pelantikan pimpinan DPD yang baru, tidak pas. Sebab, paripurna itu digelar tanpa melalui proses yang benar.
"Yang keempat, mereka pun mengubah tata tertib untuk menyesuaikan dengan putusan MA, itu juga dengan cara yang tidak pas. Karena mengubah tata tertib itu ada prosesnya," kata Zainal.
Zainal menyimpulkan terdapat serangkaian yang tidak benar dalam pelantikan tersebut. Terlebih, kata Zainal, dirinya menyesalkan langkah MA yang tiba-tiba memberi legalisasi terhadap sesuatu yang sejatinya salah.
"Ini menurut saya yang menjadi aneh. Karena sesuatu yang inkonstitusional, atau bahasanya barangkali ilegal, tetapi di ujungnya tiba-tiba seakan-akan menjadi sah hanya karena diberi stempel legal," ucap Zainal.
Zainal menambahkan, dirinya menduga MA tidak bulat melantik pimpinan tersebut. Zainal juga tidak dapat membayangkan jika proses penganuliran produk hukum sendiri oleh MA, terus menjadi preseden buruk.
"Dunia ini kemudian, siapa lagi yang mau menjadi penegak hukum. Siapa lagi yang mau menjadi orang yang menegakkan hukum, kalau benteng penegakan hukum sendiri, menginjak sendiri putusannya," kata dia.
Zainal menegaskan, Negara kerap menunjukkan pelanggaran hukum yang ia buat sendiri. Tak sedikit, lanjut Zainal, putusan sekelas MA, mudah diabaikan begitu saja.
"Saya khawatir, kalau keputusan ini terus direproduksi, orang tidak akan peduli lagi dengan penegakan hukum. Toh, siapapun bisa melanggarnya," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Muchtar menilai terdapat serangkaian yang salah, sejak awal terkait pelantikan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 oleh Mahkamah Agung (MA). Zainal mengibaratkanya bak barang haram.
"Saya membayangkan jika pakai logika barang haram masuk ke dalam produk, lalu tiba-tiba berubah menjadi halal, hanya karena mendapatkan sertikasi halal, itu menjadi rusak esensinya. Karena sertifikasi ini tujuannya menjaga agar pas dan benar," kata Zainal dalam
Program Editorial MI Metro TV, Rabu 5 April 2017.
Zainal menjelaskan pertama, putusan MA terkait masa jabatan pimpinan DPD kembali menjadi lima tahun seharusnya dapat langsung dieksekusi. Dan sebaliknya, tata tertib yang menyatakan periode pimpinan DPD 2,5 tahun, seharusnya tidak berlaku.
"Kedua, proses yang namanya paripurna, proses yang namanya sidang, itu punya mekanisme. Harus dipimpin oleh pimpinan DPD. Dan menurut putusan MA, pimpinan DPD yang lama," ujar dia.
Ketiga, lanjut Zainal, proses paripurna baik mengubah tata tertib dan menggelar pelantikan pimpinan DPD yang baru, tidak pas. Sebab, paripurna itu digelar tanpa melalui proses yang benar.
"Yang keempat, mereka pun mengubah tata tertib untuk menyesuaikan dengan putusan MA, itu juga dengan cara yang tidak pas. Karena mengubah tata tertib itu ada prosesnya," kata Zainal.
Zainal menyimpulkan terdapat serangkaian yang tidak benar dalam pelantikan tersebut. Terlebih, kata Zainal, dirinya menyesalkan langkah MA yang tiba-tiba memberi legalisasi terhadap sesuatu yang sejatinya salah.
"Ini menurut saya yang menjadi aneh. Karena sesuatu yang inkonstitusional, atau bahasanya barangkali ilegal, tetapi di ujungnya tiba-tiba seakan-akan menjadi sah hanya karena diberi stempel legal," ucap Zainal.
Zainal menambahkan, dirinya menduga MA tidak bulat melantik pimpinan tersebut. Zainal juga tidak dapat membayangkan jika proses penganuliran produk hukum sendiri oleh MA, terus menjadi preseden buruk.
"Dunia ini kemudian, siapa lagi yang mau menjadi penegak hukum. Siapa lagi yang mau menjadi orang yang menegakkan hukum, kalau benteng penegakan hukum sendiri, menginjak sendiri putusannya," kata dia.
Zainal menegaskan, Negara kerap menunjukkan pelanggaran hukum yang ia buat sendiri. Tak sedikit, lanjut Zainal, putusan sekelas MA, mudah diabaikan begitu saja.
"Saya khawatir, kalau keputusan ini terus direproduksi, orang tidak akan peduli lagi dengan penegakan hukum.
Toh, siapapun bisa melanggarnya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)