Jakarta: Anggota Komisi VIII DPR M. Ali Taher menyebut sejumlah masalah lingkungan hidup kerap terjadi akibat regulasi tata ruang yang kurang baik. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) diharapkan mengatur tata ruang yang lebih tegas.
"Tidak konsisten penataan ruang kita, tidak sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang," kata Taher dalam webinar "Perizinan Berbasis Risiko dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup", Rabu, 19 Agustus 2020.
Masalah lainnya, rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) tidak memiliki tata rencana ruang konsisten tiap daerah. Serta, tidak ada penetapan zona industri baik kawasan industri besar, menengah, dan kecil.
"Sehingga kita mengalami kesulitan mengawasi berbagai klaster lingkungan hidup itu," ujar Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Taher menyebut isu-isu tersebut harus segera dituntaskan dengan tidak mengurangi persentase hutan yang ada. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mewajibkan setiap provinsi memiliki minimal 30 persen hutan.
"Dan di Undang-Undang Ciptaker itu tidak memberi batasan, bahkan persentase (hutan) itu dihapus. Ini penting karena bergantung pada ekosistem dan lingkungan hidup masa depan," kata Taher.
Taher menyebut rencana tata ruang di Indonesia belum jelas dan tidak konsisten. Kerusakan lingkungan terjadi akibat industri di Tanah Air tidak memiliki rencana detail tata ruang.
"Hanya 26 industri dari 2.000 industri yang memiliki rencana detail tata ruang. Sehingga law inforcement menjadi lemah dan susah untuk diberlakukan terhadap industri," beber dia.
Dia menuturkan struktur pertanggungjawaban pemerintah pusat, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah harus jelas diatur dalam RUU Ciptaker. Pemerhati lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar juga harus dilibatkan sebagai pengawasan.
"Yang paling penting debirokratisasi. Jangan sampai undang-undang ini tidak memiliki kemampuan memberi sanksi karena penegakan hukum dan sanksi pidana tidak diatur dalam Undang-Undang Ciptaker," tutur Taher.
Jakarta: Anggota Komisi VIII DPR M. Ali Taher menyebut sejumlah masalah lingkungan hidup kerap terjadi akibat regulasi tata ruang yang kurang baik. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (
RUU Ciptaker) diharapkan mengatur tata ruang yang lebih tegas.
"Tidak konsisten penataan ruang kita, tidak sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang," kata Taher dalam webinar "Perizinan Berbasis Risiko dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup", Rabu, 19 Agustus 2020.
Masalah lainnya, rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) tidak memiliki tata rencana ruang konsisten tiap daerah. Serta, tidak ada penetapan zona industri baik kawasan industri besar, menengah, dan kecil.
"Sehingga kita mengalami kesulitan mengawasi berbagai klaster
lingkungan hidup itu," ujar Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Taher menyebut isu-isu tersebut harus segera dituntaskan dengan tidak mengurangi persentase hutan yang ada. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mewajibkan setiap provinsi memiliki minimal 30 persen hutan.
"Dan di Undang-Undang Ciptaker itu tidak memberi batasan, bahkan persentase (hutan) itu dihapus. Ini penting karena bergantung pada ekosistem dan lingkungan hidup masa depan," kata Taher.
Taher menyebut rencana tata ruang di Indonesia belum jelas dan tidak konsisten. Kerusakan lingkungan terjadi akibat industri di Tanah Air tidak memiliki rencana detail tata ruang.
"Hanya 26 industri dari 2.000 industri yang memiliki rencana detail tata ruang. Sehingga law inforcement menjadi lemah dan susah untuk diberlakukan terhadap industri," beber dia.
Dia menuturkan struktur pertanggungjawaban pemerintah pusat, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah harus jelas diatur dalam RUU Ciptaker. Pemerhati lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar juga harus dilibatkan sebagai pengawasan.
"Yang paling penting debirokratisasi. Jangan sampai undang-undang ini tidak memiliki kemampuan memberi sanksi karena penegakan hukum dan sanksi pidana tidak diatur dalam Undang-Undang Ciptaker," tutur Taher.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)