medcom.id, Jakarta: Kelompok-kelompok radikal dan intoleran akan selalu menjadi ancaman. Meski intensitasnya mengalami pasang surut. Pemerintah diminta konsisten bertindak agar kelompok-kelompok tersebut tidak bangkit kembali.
"Kalau pemerintah lengah, (gerakan) mereka bisa besar lagi," kata peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajang Jahroni, usai pembukaan Konferensi Internasional Studika Islamika bertajuk "Southeast Asian Islam: Religious Radicalism, Democracy, and Global Trends" di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa 8 Agustus 2017.
Menurutnya, bibit-bibit intoleransi di masyarakat saat ini tetap disemai melalui ormas-ormas tertentu. Hal itu berpotensi dimanfaatkan untuk isu SARA pada Pilkada 2018, dan Pilpres 2019.
Baca: Empat Indikator Warga Terpapar Radikalisme
Jajang mengapresiasi langkah pemerintah meredam gerakan intoleransi melalui penerbitan Perppu Ormas dan pembentukan Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Pemerintah diminta tidak kendur mempersempit ruang gerak mereka.
"Kalau negara tegas dan tidak kendur, itu bagus. Tapi jika nanti tidak konsisten, mereka (kelompok intoleran) akan bangkit," tegasnya.
Sementara itu, cendekiawan Azyumardi Azra mengatakan sentimen SARA dan intoleransi di masyarakat memang tidak terhindarkan. Gejala tersebut tidak akan menjadi besar dan muncul ke permukaan jika tidak ada pemicu yang dimanfaatkan oleh elite politik demi kepentingan tertentu.
"Intoleransi akan tetap mengendap jika tidak ada pemicunya. Kalau hanya mengendap di bawah itu tidak apa-apa," jelasnya.
Mantan rektor UIN Jakarta itu mengingatkan para elite politik agar menahan diri dan berhati-hati terkait isu SARA. Agar tidak terulang mobilisasi massa seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta lalu.
Di sisi lain, Azyumardi mengatakan ancaman terorisme masih tetap ada, meskipun para pemimpin organisasi teroris di Tanah Air satu per satu telah diringkus. Pasalnya, gejala baru serangan pelaku tunggal (lone wolf) mengalami radikalisasi secara mandiri (self-radicalization) melalui internet.
Hal itu dinilai lebih sulit terdeteksi. "Masih ada sel-sel teroris yang belum diketahui polisi. Pemerintah harus melindungi anak-anak muda yang self-radicalization," ucapnya.
Langkah pemerintah menutup saluran komunikasi teroris melalui internet, media sosial, dan aplikasi pesan singkat sudah tepat. "Alasan kebebasan berpendapat dan berserikat dalam kasus itu tidak bisa dipakai. Kita juga perlu keamanan dan kedamaian bagi masyarakat," ucapnya. (Dhika Kusuma Winata--MI)
medcom.id, Jakarta: Kelompok-kelompok radikal dan intoleran akan selalu menjadi ancaman. Meski intensitasnya mengalami pasang surut. Pemerintah diminta konsisten bertindak agar kelompok-kelompok tersebut tidak bangkit kembali.
"Kalau pemerintah lengah, (gerakan) mereka bisa besar lagi," kata peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajang Jahroni, usai pembukaan Konferensi Internasional Studika Islamika bertajuk "Southeast Asian Islam: Religious Radicalism, Democracy, and Global Trends" di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa 8 Agustus 2017.
Menurutnya, bibit-bibit intoleransi di masyarakat saat ini tetap disemai melalui ormas-ormas tertentu. Hal itu berpotensi dimanfaatkan untuk isu SARA pada Pilkada 2018, dan Pilpres 2019.
Baca: Empat Indikator Warga Terpapar Radikalisme
Jajang mengapresiasi langkah pemerintah meredam gerakan intoleransi melalui penerbitan Perppu Ormas dan pembentukan Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Pemerintah diminta tidak kendur mempersempit ruang gerak mereka.
"Kalau negara tegas dan tidak kendur, itu bagus. Tapi jika nanti tidak konsisten, mereka (kelompok intoleran) akan bangkit," tegasnya.
Sementara itu, cendekiawan Azyumardi Azra mengatakan sentimen SARA dan intoleransi di masyarakat memang tidak terhindarkan. Gejala tersebut tidak akan menjadi besar dan muncul ke permukaan jika tidak ada pemicu yang dimanfaatkan oleh elite politik demi kepentingan tertentu.
"Intoleransi akan tetap mengendap jika tidak ada pemicunya. Kalau hanya mengendap di bawah itu tidak apa-apa," jelasnya.
Mantan rektor UIN Jakarta itu mengingatkan para elite politik agar menahan diri dan berhati-hati terkait isu SARA. Agar tidak terulang mobilisasi massa seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta lalu.
Di sisi lain, Azyumardi mengatakan ancaman terorisme masih tetap ada, meskipun para pemimpin organisasi teroris di Tanah Air satu per satu telah diringkus. Pasalnya, gejala baru serangan pelaku tunggal (lone wolf) mengalami radikalisasi secara mandiri (self-radicalization) melalui internet.
Hal itu dinilai lebih sulit terdeteksi. "Masih ada sel-sel teroris yang belum diketahui polisi. Pemerintah harus melindungi anak-anak muda yang self-radicalization," ucapnya.
Langkah pemerintah menutup saluran komunikasi teroris melalui internet, media sosial, dan aplikasi pesan singkat sudah tepat. "Alasan kebebasan berpendapat dan berserikat dalam kasus itu tidak bisa dipakai. Kita juga perlu keamanan dan kedamaian bagi masyarakat," ucapnya. (Dhika Kusuma Winata--MI)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)