Jakarta: Strategi Jangka Benah (SJB) yang diperkenalkan pemerintah dapat menjadi solusi penyelesaian ketidaksesuaian atau tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain. Salah satunya untuk perkebunan sawit.
Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Susanti menjelaskan Jangka Benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur terhadap kawasan hutan. Ari mengatakan SJB dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama bertujuan mengubah kebun kelapa sawit monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Seperti penambahan spesies tanaman berkayu pada kebun kelapa sawit monokultur.
Tahap kedua bertujuan meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit. Sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami (close to nature).
"Di Bukit Bamba itu mereka sudah menerapkan berbagai macam model-model kebun sawit campur. Misalnya, sawit dicampur dengan dengan jengkol, petai, sungkai, jelutung. Di Kalimantan Tengah, sawit dicampur dengan sayur mayur. seperti sawi yang mudah untuk tumbuh," kata Ari dalam webinar ‘Strategi Jangka Benah, Solusi Bagi Kesejahteraan Rakyat dan Kawasan Hutan’, Selasa, 26 Oktober 2021.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto, mengatakan Kalimantan Tengah memiliki luas tutupan sawit yang cukup besar, yakni mencapai 1,7 juta hektare. Namun, baru 1,3 juta hektare perkebunan besar swasta yang memiliki izin. Dari total 1,3 juta hektare itu, ada 600 ribu hektare yang masuk kawasan hutan .
Dia berharap SJB tidak lagi menempel pada perizinan lain dan dapat dibuatkan peta indikatif. SJB juga diharapkan agar terus disosialisasikan hingga bisa memberikan kontribusi, kesejahteran, serta penghasilan lebih besar daripada sistem monokultur.
"Masyarakat itu sederhana, enggak perlu ganti-ganti sistem. Yang penting apa yang masyarakat tanam itu ada optekernya atau pasarnya langsung masuk. Kalau tidur tapi sambil nanam sawit, orang yang beli datang. Kalau sengon, kita harus menawarkan. Ini adalah substansi dari semua sistem itu agar kita bisa sejahterakan masyarakat," jelas dia.
Baca: Demi Hilirisasi, Pemerintah Larang Ekspor CPO
Sementara itu, Ketua Kelompok Hutan Tani (KHT) Kasang Panjang, Makmun Murod, mengatakan 83 anggota kelompoknya telah melaksanakan SJB selama dua tahun. Mereka menerapkannya di lahan seluas 55 hektare dari 283 hektare lahan yang ada.
Dia mengaku masih harus berhadapan dengan pola pikir masyarakat karena ada yang belum merasa punya tanggung jawab moril untuk mengembalikan fungsi hutan. Dia berharap program SJB tidak putus di tengah jalan, hingga ada pembinaan di lapangan.
"Bahkan tidak hanya pembinaan, (berdasarkan) amanat undang-undang, pemegang izin baik ATR, memiliki kewajiban menanam minimal 100 batang yang berjenis kehutanan. Jadi harus dikawal betul oleh pemerintah, jangan sampai dia nanam yang enggak-enggak. Jangan kami bekerja sendiri, karena kalau kami itu bukan perusahaan tapi pemegang izin dalam bentuk kelompok tani," ucap dia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Erna Rosdiana, mengatakan kebijakan Jangka Benah yang ditetapkan perhutanan sosial merupakan proses untuk kepentingan ekonomi yang kini menjadi kepentingan masyarakat. Dia berharap semua bisa terlindungi dengan Jangka Benah dalam kurun waktu kurang lebih 15-25 tahun.
"Praktik di lapangan tentu saja saat ini belum teridentifikasi dengan baik. Namun, di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Tengah, yang difasilitasi oleh teman-teman dari Kehati dan UGM, sudah melakukan uji coba ya di sana, bagaimana Jangka Benah itu bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Saya kira dengan pengalaman uji coba ini maka kita bisa diimplementasikan nanti di tempat-tempat yang lain," kata dia.
Dia menekankan kolaborasi lintas sektor dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Menurut dia, kolaborasi menjadi kunci Jangka Benah dapat diterapkan di berbagai kawasan hutan Indonesia.
"Kami memang tidak mungkin kerja sendirian tanpa dukungan dari pemerintah daerah dan kementerian dan lembaga terkait lainnya. Karena ini urusannya adalah urusan kesejahteraan rakyat, jadi urusan semua sektor," ujar dia.
Jakarta: Strategi
Jangka Benah (SJB) yang diperkenalkan pemerintah dapat menjadi solusi penyelesaian ketidaksesuaian atau tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain. Salah satunya untuk perkebunan
sawit.
Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Susanti menjelaskan Jangka Benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur terhadap kawasan hutan. Ari mengatakan SJB dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama bertujuan mengubah
kebun kelapa sawit monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Seperti penambahan spesies tanaman berkayu pada kebun kelapa sawit monokultur.
Tahap kedua bertujuan meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit. Sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami (
close to nature).
"Di Bukit Bamba itu mereka sudah menerapkan berbagai macam model-model kebun sawit campur. Misalnya, sawit dicampur dengan dengan jengkol, petai, sungkai, jelutung. Di Kalimantan Tengah, sawit dicampur dengan sayur mayur. seperti sawi yang mudah untuk tumbuh," kata Ari dalam webinar ‘Strategi Jangka Benah, Solusi Bagi Kesejahteraan Rakyat dan Kawasan Hutan’, Selasa, 26 Oktober 2021.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto, mengatakan Kalimantan Tengah memiliki luas tutupan sawit yang cukup besar, yakni mencapai 1,7 juta hektare. Namun, baru 1,3 juta hektare perkebunan besar swasta yang memiliki izin. Dari total 1,3 juta hektare itu, ada 600 ribu hektare yang masuk kawasan hutan .
Dia berharap SJB tidak lagi menempel pada perizinan lain dan dapat dibuatkan peta indikatif. SJB juga diharapkan agar terus disosialisasikan hingga bisa memberikan kontribusi, kesejahteran, serta penghasilan lebih besar daripada sistem monokultur.
"Masyarakat itu sederhana, enggak perlu ganti-ganti sistem. Yang penting apa yang masyarakat tanam itu ada optekernya atau pasarnya langsung masuk. Kalau tidur tapi sambil nanam sawit, orang yang beli datang. Kalau sengon, kita harus menawarkan. Ini adalah substansi dari semua sistem itu agar kita bisa sejahterakan masyarakat," jelas dia.
Baca:
Demi Hilirisasi, Pemerintah Larang Ekspor CPO
Sementara itu, Ketua Kelompok Hutan Tani (KHT) Kasang Panjang, Makmun Murod, mengatakan 83 anggota kelompoknya telah melaksanakan SJB selama dua tahun. Mereka menerapkannya di lahan seluas 55 hektare dari 283 hektare lahan yang ada.
Dia mengaku masih harus berhadapan dengan pola pikir masyarakat karena ada yang belum merasa punya tanggung jawab moril untuk mengembalikan fungsi hutan. Dia berharap program SJB tidak putus di tengah jalan, hingga ada pembinaan di lapangan.
"Bahkan tidak hanya pembinaan, (berdasarkan) amanat undang-undang, pemegang izin baik ATR, memiliki kewajiban menanam minimal 100 batang yang berjenis kehutanan. Jadi harus dikawal betul oleh pemerintah, jangan sampai dia nanam yang enggak-enggak. Jangan kami bekerja sendiri, karena kalau kami itu bukan perusahaan tapi pemegang izin dalam bentuk kelompok tani," ucap dia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Erna Rosdiana, mengatakan kebijakan Jangka Benah yang ditetapkan perhutanan sosial merupakan proses untuk kepentingan ekonomi yang kini menjadi kepentingan masyarakat. Dia berharap semua bisa terlindungi dengan Jangka Benah dalam kurun waktu kurang lebih 15-25 tahun.
"Praktik di lapangan tentu saja saat ini belum teridentifikasi dengan baik. Namun, di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Tengah, yang difasilitasi oleh teman-teman dari Kehati dan UGM, sudah melakukan uji coba ya di sana, bagaimana Jangka Benah itu bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Saya kira dengan pengalaman uji coba ini maka kita bisa diimplementasikan nanti di tempat-tempat yang lain," kata dia.
Dia menekankan kolaborasi lintas sektor dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Menurut dia, kolaborasi menjadi kunci Jangka Benah dapat diterapkan di berbagai kawasan hutan Indonesia.
"Kami memang tidak mungkin kerja sendirian tanpa dukungan dari pemerintah daerah dan kementerian dan lembaga terkait lainnya. Karena ini urusannya adalah urusan kesejahteraan rakyat, jadi urusan semua sektor," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)