Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Foto: Panca Syurkani/MI
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Foto: Panca Syurkani/MI

Satu Tahun Jokowi-JK

Jalan Panjang Ciptakan Rasa Aman

Krisiandi • 19 Oktober 2015 19:56
medcom.id, Jakarta: Insiden Tolikara di Hari Raya Idul Fitri lalu mengejutkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rumah ibadah dibakar dan satu orang tewas. Peristiwa benturan agama ini seperti memperlihatkan lemahnya koordinasi intelijen. Rasa aman warga negara ternyata belum bisa terjamin.   
 
Tragedi Tolikara, bagi Ikrar Nusa Bhakti, salah seorang peserta Forum Grup Dicussion bertajuk "Setahun Jokowi-JK" yang digelar Media Research Center (MRC), awal bulan ini, adalah salah satu bukti betapa negara masih belum bisa menjamin keamanan rakyatnya. Satu tahun pemerintahan Jokowi adalah momentum untuk menuntaskan peristiwa-peristiwa bentrokan atau konflik dan pelanggaran HAM masa lalu.
 
Selain peristiwa Tolikara, Ikrar juga merujuk pada tewasnya dua orang warga sipil di Timika, Papua, lantaran ditembak tentara. “Dua saudara dari Papua ditembak oleh tentara gara-gara masalah sepele. Orang menegur tentara namun tidak terima,” kata Ikrar. Kejadian pada Agustus lalu itu terjadi karena kebiasaan tentara yang masih merasa berada di atas hukum.
 
“Kalau kebiasaan tentara terus seperti itu bisa membakar Papua,” kata Ikrar.
 
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini juga menyoroti soal diskriminasi terhadap keturunan korban tragedi 1965. Mereka masih belum bisa hidup nyaman. Dia mencontohkan banyak dari mereka yang tak bisa maju dalam pilkada karena dicap sebagai turunan PKI.
 
Jalan Panjang Ciptakan Rasa Aman
Ikrar Nusa Bakti. Foto: Mohamad Irfan/MI
 
Bukan hanya anak dan cucu, tapi juga sampai cicit. “Hal-hal semacam ini masih ada, bagaimana negara ini mau maju jika cap-cap anak-anak OPM, PKI, RMS dan GAM. Kemana republik ini dengan kebhinekaannya dan kemanusiaannya?” ujar Ikrar.
 
Namun demikian, Ikrar menilai pemerintahan Jokowi berupaya untuk terus memberikan rasa aman bagi publik. Bagi Ikrar, pemerintah sudah tampak bekerja. Tapi ada beberapa pekerjaan, terkait keamanan rakyat, yang belum tuntas. Khusunya terkait dengan pelanggaran HAM. Dan karena beberapa hal, pekerjaan itu sulit diselesaikan.
 
“Salah satu kesulitan kita mengenai penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah kita tidak punya pakta politik. Saya sudah berkali-kali bilang bahwa kita enggak punya pakta politik, seperti kasus Afrika Selatan yang kemudian penyelesaian masalahnya itu bahwa pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” papar Ikrar.
 
Ketiadaan pakta tersebut, lanjut Ikrar, membuat negara tidak pernah memberikan amnesti kepada para pelanggar HAM. Kesulitan lain, bahkan yang terbesar, adalah institusi militer yang tidak pernah mau disalahkan. Padahal jika TNI bersedia mengakui kesalahannya, itu berdampak positif, baik untuk TNI maupun pemerintah dan negara.
 
Tragedi 1965 adalah peristiwa yang sulit diakui oleh tentara. Tapi tragedi tersebut politis. Anehnya, peristiwa non politis pun sulit dituntaskan karena sikap TNI yang tak pernah mau mengakui.
 
Ikrar mencontohkan peristiwa pelanggaran HAM non politik, seperti tragedi Bantaqiah di Aceh. TNI tak pernah mengakui bahwa apa yang terjadi di sana adalah kesalahan mereka. Akhirnya, pelanggaran HAM di daerah tersebut tak tuntas. “Kasus Semanggi 1 dan 2, itu kan gampang banget (diselesaikan). Misalnya pasukan siapa yang ada di situ dan siapa yang melakukan penembakan, gampang banget, itu pun enggak selesai,” tuturnya.  
 
Seharusnya, kata dia, insiden-insiden tersebut diakui pecah karena adanya peran TNI. “Buat saya tak masalah itu pasukan siapa, yang penting mengakui bahwa itu terjadi,” ujar Ikrar.
 
Menurutnya, diperlukan suatu kelegowoan politik untuk mengakui kesalahan masa lalu. Namun, kata Ikrar, ada suatu kekhawatiran TNI bahwa jika mereka mengakui kesalahan maka mereka akan diserang rakyat. “Padahal bukan itu,” tukasnya.
 
Menurut Ikrar, setahun memerintah Presiden Jokowi sudah mengendalikan bandul politik. “Tapi beliau masih perlu menangani dua institusi lain, yakni Polri dan TNI,” ujar Ikrar. Jika tidak, apa yang telah dibangun Jokowi, seperti membuat pasar dan membangun jalan akan lenyap seketika akibat ulah oknum-oknum itu.
 
Sementara peserta lain, Muhammad Purianda, menilai perlu pengadilan HAM ad hoc untuk mengungkap banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tersentuh. “Ini untuk memberikan jawaban kasus HAM,” ujar Ketua BEM Universitas Trisakti.

Jalan Panjang Ciptakan Rasa Aman
Sumber: MRC Grafis: Metrotvnews.com
 
Secara keseluruhan buat Nawacita poin menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, para peserta FGD mengamini Pemerintahan Jokowi sedang menangani dengan serius. Menurut mereka, 27% dalam tahap berusaha, 69% sedang menuju dan 4% sudah mencapai.
 
Melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara: 27% (tahap berusaha), 69% (sedang menuju), 4% (sudah mencapai). 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan