Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) mendorong pemerintah serius dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Kasus ini bisa mengganggu kedaulatan negara bila dibiarkan terjadi terus menerus.
"Sejumlah diskusi dan kajian menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tindakan untuk mengatasi praktik TPPO yang sudah berlangsung lama hingga kini. Penanganan serius harus segera dilakukan, jangan sampai praktik perbudakan di era global ini mengganggu kedaulatan negara," kata Rerie saat membuka diskusi daring bertema Darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pertengahan 2024 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 22 Mei 2024.
Dia menilai praktik TPPO sudah menimbulkan kekhawatiran. Praktik perbudakan modern ini bukan semata jual beli orang, tetapi sudah melanggar hak-hak kemanusiaan.
Menurut dia, akan muncul seolah-olah ada pembiaran, bila mekanisme perlindungan tidak direalisasikan secara tegas dan menyeluruh. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dia menjelaskan perlidungan tersebut mencakup menyeluruh yang bisa diwujudkan dengan kepastian perlindungan hukum. Pada kenyataannya, kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, setiap tahun selalu terungkap kasus TPPO dengan berbagai rupa dan modus berbeda.
Rerie sangat berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah secara bersama serius melihat permasalahan secara lebih jernih dalam mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara dari jeratan praktik TPPO.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Tengah, Kombes Bagus Setiyawan, mengungkapkan dalam penanganan TPPO, pihaknya memiliki komitmen tinggi.
Menurut Bagus, dalam penanganan sejumlah kasus TPPO, itu beberapa modus operasi terungkap, antara lain rekrutmen pekerja migran Indonesia, dijanjikan bekerja di luar negeri untuk dijadikan pekerja seks komersial, dan eksploitasi anak di bawah umur dengan dokumen palsu.
Bagus mengakui ada berbagai kendala dalam proses penanganan sejumlah kasus TPPO. Antara lain, korban TPPO kerap enggan melapor dan saksi pada kasus TPPO tidak datang karena sudah pindah.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, berpendapat isu TPPO sudah mengkhawatirkan. Menurut Wahyu, sudah sejak lama Indonesia masuk dalam darurat trafficking dan muncul dengan modus baru.
Menurut Wahyu, modus lama kasus TPPO disamarkan dengan perekrutan dan penempatan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan, dan anak buah kapal.
Pada tiga sektor tersebut, ungkap dia, Indonesia sangat rentan terhadap praktik-praktik TPPO. Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi ketenagakerjaan nasional yang kurang berkembang secara kualitas. "Tata kelola ketenagakerjaan kita belum human rights based approach," ujar dia.
Menurut dia, modus operandi baru dalam praktik TPPO didorong kondisi pengangguran yang meningkat akibat dampak pandemi.
Kondisi lapar kerja itu juga dimanfaatkan sindikat untuk merekrut tenaga kerja ke luar negeri dengan informasi tidak jelas. Bahkan, kata Wahyu, anak muda juga menjadi sasaran sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan sektor digital seperti scaming dan judi online.
Menurut Wahyu, ketika anak muda, sarjana yang tinggal di perkotaan, dan dari keluarga kelas menengah menjadi sasaran sindikat perdagangan orang, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, generasi muda menjadi tumpuan harapan mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Jakarta: Wakil Ketua
MPR Lestari Moerdijat (Rerie) mendorong pemerintah serius dalam menangani kasus
tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Kasus ini bisa mengganggu kedaulatan negara bila dibiarkan terjadi terus menerus.
"Sejumlah diskusi dan kajian menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tindakan untuk mengatasi praktik TPPO yang sudah berlangsung lama hingga kini. Penanganan serius harus segera dilakukan, jangan sampai praktik perbudakan di era global ini mengganggu kedaulatan negara," kata Rerie saat membuka diskusi daring bertema Darurat Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) di Pertengahan 2024 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 22 Mei 2024.
Dia menilai praktik TPPO sudah menimbulkan kekhawatiran. Praktik perbudakan modern ini bukan semata jual beli orang, tetapi sudah melanggar hak-hak kemanusiaan.
Menurut dia, akan muncul seolah-olah ada pembiaran, bila mekanisme perlindungan tidak direalisasikan secara tegas dan menyeluruh. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dia menjelaskan perlidungan tersebut mencakup menyeluruh yang bisa diwujudkan dengan kepastian perlindungan hukum. Pada kenyataannya, kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, setiap tahun selalu terungkap kasus TPPO dengan berbagai rupa dan modus berbeda.
Rerie sangat berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah secara bersama serius melihat permasalahan secara lebih jernih dalam mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara dari jeratan praktik TPPO.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Tengah, Kombes Bagus Setiyawan, mengungkapkan dalam penanganan TPPO, pihaknya memiliki komitmen tinggi.
Menurut Bagus, dalam penanganan sejumlah kasus TPPO, itu beberapa modus operasi terungkap, antara lain rekrutmen pekerja migran Indonesia, dijanjikan bekerja di luar negeri untuk dijadikan pekerja seks komersial, dan eksploitasi anak di bawah umur dengan dokumen palsu.
Bagus mengakui ada berbagai kendala dalam proses penanganan sejumlah kasus TPPO. Antara lain, korban TPPO kerap enggan melapor dan saksi pada kasus TPPO tidak datang karena sudah pindah.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, berpendapat isu TPPO sudah mengkhawatirkan. Menurut Wahyu, sudah sejak lama Indonesia masuk dalam darurat trafficking dan muncul dengan modus baru.
Menurut Wahyu, modus lama kasus TPPO disamarkan dengan perekrutan dan penempatan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan, dan anak buah kapal.
Pada tiga sektor tersebut, ungkap dia, Indonesia sangat rentan terhadap praktik-praktik TPPO. Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi ketenagakerjaan nasional yang kurang berkembang secara kualitas. "Tata kelola ketenagakerjaan kita belum human rights based approach," ujar dia.
Menurut dia, modus operandi baru dalam praktik TPPO didorong kondisi pengangguran yang meningkat akibat dampak pandemi.
Kondisi lapar kerja itu juga dimanfaatkan sindikat untuk merekrut tenaga kerja ke luar negeri dengan informasi tidak jelas. Bahkan, kata Wahyu, anak muda juga menjadi sasaran sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan sektor digital seperti scaming dan judi online.
Menurut Wahyu, ketika anak muda, sarjana yang tinggal di perkotaan, dan dari keluarga kelas menengah menjadi sasaran sindikat perdagangan orang, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, generasi muda menjadi tumpuan harapan mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)