medcom.id, Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemanan mengkritisi salah satu poin revisi UU Pilkada yang sedang digodok DPR dan pemerintah. Salah satu usulan dalam revisi UU Nomor 8 tahun 2015 itu mengubah syarat calon dari PNS, anggota DPR/DPRD, dan TNI/Polri tak perlu pensiun atau mengundurkan diri ketika menjadi kandidat dalam Pilkada.
Satu hal yang menjadi soal adalah unsur TNI/Polri yang jelas-jelas diperbolehkan memasuki arena tanding politik. Direktur Imparsial Al Araf menyebut, usulan itu bertentangan dengan UU TNI Nomor 34 tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 tahun 2002.
"Jika revisi ini disahkan, merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan proses reformasi sektor keamanan di Indonesia," kata Al Araf di kantornya, Jalan Tebet Utara II C, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016).
Dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pasal 39 ayat 2, jelas Al Araf, prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Pasal 47 ayat 1 menyebut prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara itu, UU Polri Nomor 2 tahun 2002 dalam pasal 28 ayat 1 menyebut kepolisian negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal 28 ayat 3 menyebut anggota kepolisian negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Al Araf menilai keterlibatan TNI/Polri dalam politik praktis akan membahayakan dinamika demokrasi. Iklim politik dianggap akan mundur seperti rezim sebelumnya.
"Hal ini serupa tapi tak sama dengan zaman Orde Baru. Anggota TNI dan Polri yang pada saat itu masih berada dibawah naungan ABRI, menduduki jabatan gubernur dan bupati, meski tanpa melalui proses Pilkada," ujar Al-Araf.
medcom.id, Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemanan mengkritisi salah satu poin revisi UU Pilkada yang sedang digodok DPR dan pemerintah. Salah satu usulan dalam revisi UU Nomor 8 tahun 2015 itu mengubah syarat calon dari PNS, anggota DPR/DPRD, dan TNI/Polri tak perlu pensiun atau mengundurkan diri ketika menjadi kandidat dalam Pilkada.
Satu hal yang menjadi soal adalah unsur TNI/Polri yang jelas-jelas diperbolehkan memasuki arena tanding politik. Direktur Imparsial Al Araf menyebut, usulan itu bertentangan dengan UU TNI Nomor 34 tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 tahun 2002.
"Jika revisi ini disahkan, merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan proses reformasi sektor keamanan di Indonesia," kata Al Araf di kantornya, Jalan Tebet Utara II C, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016).
Dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pasal 39 ayat 2, jelas Al Araf, prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Pasal 47 ayat 1 menyebut prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara itu, UU Polri Nomor 2 tahun 2002 dalam pasal 28 ayat 1 menyebut kepolisian negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal 28 ayat 3 menyebut anggota kepolisian negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Al Araf menilai keterlibatan TNI/Polri dalam politik praktis akan membahayakan dinamika demokrasi. Iklim politik dianggap akan mundur seperti rezim sebelumnya.
"Hal ini serupa tapi tak sama dengan zaman Orde Baru. Anggota TNI dan Polri yang pada saat itu masih berada dibawah naungan ABRI, menduduki jabatan gubernur dan bupati, meski tanpa melalui proses Pilkada," ujar Al-Araf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OJE)