Jakarta: Revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dikecam. Sebab, semakin mengancam kebebasan berekspresi, karena revisi mempertahankan pasal karet dan menambah pasal baru yang berbahaya.
"Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama," kata Ketua Pengurus YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Januari 2023.
Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat 1-4 yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Kemudian, Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
Mewakili Koalisi Serius Revisi UU ITE, Isnur mengecam revisi UU ITE. Karena, DPR bersama Pemerintah menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.
"Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," kata dia.
Dalam draf revisi, pasal 27B ayat 1 berbunyi tersebut berbunyi 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang,'
Adapun Pasal 2B ayat 2 berisi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang,"
Kemudian, Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat 3 mengulas tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. "Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini," kata Isnur.
Atas hal tersebut, pihaknya menolak tegas revisi kedua UU ITE oleh DPR dan pemerintah. Sebab, mengabaikan partisipasi publik secara bermakna, termasuk melanggengkan pasal yang berpotensi digunakan membungkam kebebasan berekspresi.
"Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya. Kemudian, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan," kata Isnur.
Jakarta: Revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (
UU ITE) dikecam. Sebab, semakin mengancam kebebasan berekspresi, karena revisi mempertahankan pasal karet dan menambah pasal baru yang berbahaya.
"Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama," kata Ketua Pengurus YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Januari 2023.
Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat 1-4 yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Kemudian, Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
Mewakili Koalisi Serius Revisi
UU ITE, Isnur mengecam revisi UU ITE. Karena, DPR bersama Pemerintah menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.
"Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," kata dia.
Dalam draf revisi, pasal 27B ayat 1 berbunyi tersebut berbunyi 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang,'
Adapun Pasal 2B ayat 2 berisi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang,"
Kemudian, Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat 3 mengulas tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. "Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini," kata Isnur.
Atas hal tersebut, pihaknya menolak tegas revisi kedua UU ITE oleh DPR dan pemerintah. Sebab, mengabaikan partisipasi publik secara bermakna, termasuk melanggengkan pasal yang berpotensi digunakan membungkam kebebasan berekspresi.
"Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya. Kemudian, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan," kata Isnur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)